Rabu, 22 April 2015

Congkak sebagai Media Pembelajaran Matematika dan Konservasi Permainan Tradisional


 Budaya di Indonesia nan eksotik dan beranekaragam. Upaya konservasi terhadap permainan tradisional tidak cukup sekedar menuliskannya dalam bentuk dokumentasi sehingga anak-anak hanya mengenalnya dalam bentuk gambar. Hal yang tidak dipungkiri bahwa diantara mata pelajaran yang diajarkan kepada anak di sekolah dasar misalnya Matematika merupakan momok mata pelajaran yang ditakuti, mengapa demikian? perspektif saya sebagai penulis juga merasakan hal demikian.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
 
             Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.

Menurut Briggs dalam http://belajarpsikologi.com/pengertian-media-pembelajaran/ (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. 

     Congklak dalam http://kebudayaanindonesia.net/media/images/upload/culture/congkak3.jpg adalah permainan rakyat yang sudah berkembang cukup lama di kawasan Melayu dengan sebutan yang berbeda-beda. Di Malaysia dan beberapa daerah di Kepulauan Riau dikenal dengan Congkak, di Filipina disebut sungka, di Srilangka dikenal dengan cangka, di Thailand tungkayon dan di beberapa daerah lain di Indoonesia seperti di Sulawesi disebut mokaotan, maggaleceng, aggalacang dan nogarata. Ada juga yang menyebutnya congkak, seperti daerah-daerah yang ada di Pulau Jawa.
         Cara permainan dalam congkak melibatkan kemampuan anak dalam mengenal bilangan seperti halnya dalam setiap lekukan yang harus di isi dengan 5 buah batu/kerang. Pengenalan konsep penjumalahan, pengurangan, perkalian dan pembagian terlihat dalam proses memainkan permainan ini. 

Permainan ini dilakukan oleh perempuan baik anak-anak maupun dewasa dan merupakan pengisi waktu senggang. Pemain berjumlah 2 (dua) orang. Alat permainan terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 15 cm dan tinggi 10 cm. Pada kedua ujungnya terdapat logak yaitu lubang yang tidak tembus berbentuk seperti setengah bulatan bola, bergaris tengah 10 cm. Kedua lubang itu disebut indung atau lubang induk. Antara kedua indung terdapat dua deret lubang berukuran lebih kecil, kira-kira berdiameter 5 cm dan setiap deret berjumlah 7 lubang. Alat tersebut dilengkapi dengan biji-bijian untuk pengisi lubang-lubang congkak, biasanya berupa biji asem, sawo atau biji tanjung. Di daerah pesisir biji-bijian itu diganti dengan kewuk atau kulit kerang.
Cara permainan congkak yaitu setiap lubang diisi tujuh butir sehingga seluruhnya memerlukan 98 butir (dua deret x 7 lubang x 7 butir). Pada umunya bermain congkak dilakukan sambil duduk bersimpuh di atas lantai saling berhadapan dengan lawannya dan masing-masing menghadapi sederet lubang congkak. Tidak ada ketentuan lubang mana yang pertama diambil, tetapi keduanya sama-sama meraup biji-biji yang ada pada salah satu lubang pada deretan yang dihadapinya. Selanjutnya diisikan pada setiap lubang masing-masing sebutir. Arah pengisian seperti arah jarum jam yaitu dari kanan ke kiri, sehingga lubang induknya terisi juga sebutir dan satu buah lubang menjadi kosong. Permainan dilanjutkan untuk yang kedua kali. Kedua pemain meraup kembali biji-biji pada salah satu lubang kecil, lalu diisikan pada lubang lainnya. Pengambilan biji kali ini perlu seteliti mungkin karena lubang yang diisi tidak hanya miliknya, tetapi juga milik lawan dan kemungkinan biji terakhir jatuh pada lubang kosong. Bila ternyata demikian dalah seorang pemain kalah dan untuk sementara ditunda permainannya. Tetapi bila keduanya sama-sama cerdik artinya tidak ada yang mengisi lubang kosong, permainan dilanjutkan hingga salah seorang dinyatakan kalah.
Pemain yang lain melanjutkan permainan dan berusaha agar dapat mengisi lubang induk sebanyak-banyaknya dan tidak mengisi lubang kosong. Biji milik lawan dapat menjadi miliknya dengan cara nembak yaitu biji terkahir jatuh pada lubang yang kosong dan secara kebetulan lubang di depannya penuh dengan biji, maka biji itu dapat diambil dan mengisi lubang induknya. Dalam hal ini kejujuran pemain turut menentukan, karena bisa saja berlaku curang dengan memasukkan dua biji sekaligus dalam satu lubang, bila pengisian telah mendekati lubang kosong. Permainan terus berlanjut dengan saling bergantian dan baru berakhir setelah lubang salah seorang pemain kosong.
Bila permainan akan dilanjutkan pada babak berikutnya, lubang-lubang kembali diisi. Kemungkinan terjadi lubang salah seorang pemain ada yang kosong karena biji miliknya terambil oleh lawan yang disebut pecong dan hal itu merupakan kekalahan. Namun, bila pada deretnya masih terdapat biji-bijian dinyatakan meunang papan dan dia akan menjadi pemain pertama pada permainan berikutnya. Permainan congkak tidak mempunyai bats waktu, dapat dilaksanakan berulangkali dan kapan saja.
Nilai budaya yang dapat diambil dari permainan congkak yaitu ketelitian, kecerdasan dan kejujuran. Ketelitian dituntut agar ketika memasukkan buah congkak tidak salah, seperti salah memasukkan buah congkak ke lubang induk pemain lawan, atau kesalahan-kesalahan lain. Kecerdasan dibutuhkan agar seorang pemain bisa memenangkan permainan tersebut. Dan nilai kejujuran diharapkan agar masing-masing pemain bersikap sportif, dan tidak menipu lawannya ketika lawan tersebut dalam keadaan lengah.
Sumber: Direktorat Permuseuman. 1998. Permainan Tradisional Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman. http://melayuonline.com/ind
 Sumber gambar : http://kebudayaanindonesia.net/media/images/upload/culture/congkak3.jpg

Rabu, 15 April 2015

MAWAPERS UPI KAMPUS TASIKMALAYA 2015


Selamat dan sukes pada Saudara Intan Kusmayanti sebagai Mawapres UPI Kampus Tasikmalaya 2015 dengan skor 381, Siapkan dirimu untuk menjadi Mahasiswa Berprestasi berikutnya.... :)

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN IPS DI SD KELAS TINGGI



KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN IPS DI KELAS TINGGI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan IPS di SD Kelas Tinggi
Dosen : Dra. Hj. Momoh Halimah, M.Pd







Oleh :
 Anggi Saputra             1305476
Ayu Ratnasari             1305698
Rini Nurhartianti         1300108
Yati Sri Mulyati          1300033
Zaina Al Fath              1303440



PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS TASIKMALAYA
2015
A.    Pengertian dan Tujuan Pendidikan IPS

Pendidikan IPS terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan IPS. Pendidikan mengandung pengertian suatu perbuatan yang disengaja untuk menjadikan manusia memiliki kualitas yang lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Selanjutnya untuk memahami pengertian pendidikan, dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional berikut ini : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian IPS merujuk pada kajian yang memusatkan perhatiannya pada aktivitas kehidupan manusia. Berbagai dimensi manusia dalam kehidupan sosialnya merupakan fokus kajian dari IPS.
Aktivitas manusia dilihat dari dimensi waktu yang meliputi masa lalu, sekarang dan masa depan. Aktivitas manusia yang berkaitan dalam hubungan dan interaksinya dengan aspek keruangan atau geografis. Aktivitas sosial manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya dalam dimensi arus produksi, disitribusi dan konsumsi. Selain itu dikaji pula bagaimana manusia membentuk seperangkat peraturan sosial dalam menjaga pola interaksi sosial antar manusia dan bagaimana cara manusia memperoleh dan mempertahankan suatu kekuasaan. Pada intinya, fokus kajian IPS adalah berbagai aktivitas manusia dalam berbagai dimensi kehidupan sosial sesuai dengan karakteristik manusia sebagai makhluk sosial (homo socius).
Tradisi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi pengembangan social studies di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan kajian sosial. Amerika Serikat merupakan negara yang sangat plural, terdiri dari berbagai ras, bangsa, agama dan kebudayaan sehingga masyarakatnya bersifat multikultural. Kondisi ini memiliki sejumlah persamaan dengan Indonesia dimana masyarakat Indonesia juga merupakan masyarakat yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan sebagainya. Di tengah kondisi masyarakat yang plural atau majemuk inilah maka diperlukan adanya perhatian khusus dalam pengembangan kajian sosial.
Faktor lainnya yang menjadikan Amerika Serikat sering dijadikan rujukandalam pengembangan pendidikan IPS di Indonesia adalah terletak pada reputasi akademik negara tersebut dalam pengembangan social studies. Amerika Serikat memiliki sebuah lembaga yang memberikan perhatian khusus pada pengembangan social studies. Secara berkala lembaga tersebut “melahirkan” kajian-kajian akademiknya melalui sebuah jurnal yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS). Definisi social studies yang terdapat dalam NCSS tahun 1994 adalah sebagai berikut : Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decision for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Terdapat perbedaan yang esensial antara IPS sebagai ilmu-ilmu sosial(social sciences) dengan pendidikan IPS sebagai sebagi social studies. Jika IPS lebih dipusatkan pada pengkajian ilmu murni dari berbagai bidang yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) atau dalam kata lain IPS adalah sebagai wujudnya. Setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu sosial berusaha untuk mengembangkan kajiannya sesuai dengan alur keilmuannya dan menumbuhkan “body of knowledge”. Sedangkan pendidikan IPS lebih ditekankan pada bagaimana cara mendidik tentang ilmu-ilmu social atau lebih kepada penerapannya (application ofknowledge social studies). Ilmu yang disajikan dalam pendidikan IPS merupakan suatu Synthetic antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu pendidikan. Pendidikan IPS merupakan hasil rekayasa “inter cross” dan “trans disipliner” antara disiplin ilmupendidikan dengan disiplin ilmu sosial murni untuk tujuan pendidikan. Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan IPS merupakan hasil seleksi, adaptasi dan modofikasi dari hubungan inter disipliner antara disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
Mengenai karakteristik pendidikan IPS sebagai suatu synthetic disciplines
dijelaskan oleh Somantri (2001; 198) sebagai berikut :
Disebut synthetic disciplines karena pendidikan IPS bukan hanya harus mampu mensintesiskan konsep-konsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, melainkan juga tujuan pendidikan dan pembangunan serta masalah-masalah sosial dalam hidup bermasyarakat pun yang sering disebut dengan ipoleksosbudhankam akan menjadi pertimbangan bahan pendidikan IPS.
Pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat perguruan tinggi akan berbeda dengan pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat persekolahan.Penyederhanaan pendidikan IPS harus diorganisir dan disiapkan sedemikian rupa dan didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai. Materi pendidikan IPS yang akan dipelajari siswa harus didasrkan pada tujuan yang akan dicapai. Dalam hal ini, Somantri (2001; 44) merumuskan batasan dan tujuan pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sebagai “suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Tujuan pendidikan IPS dikembangkan atas dasar pemikiran bahwapendidikan IPS merupakan suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu pendidikan IPS harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian tujuan pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebihtinggi.
Menurut Hasan (1996; 107), tujuan pendidikan IPS dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu pengembangan kemampuan intelektual siswa, pengembangan kemampuan dan rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa serta pengembangan diri siswa sebagai pribadi. Tujuan pertama berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual yang berhubungan dengan diri siswa dan kepentingan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial.Tujuan kedua berorientasi pada pengembangan diri siswa dan kepentingan masyarakat. Sedangkan tujuan ketiga lebih berorientasi pada pengembangan pribadi siswa baik untuk kepentingan dirinya, masyarakat maupun ilmu. Berdasarkan pendapat di atas, ada tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan pendidikan IPS, yaitu aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Pengembangan kemampuan intelektual lebih didasarkan pada pengembangan disiplin ilmu itu sendiri serta pengembangan akademik dan thinking skills. Tujuan intelektual berupaya untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami disiplin ilmu sosial, kemampuan berpikir, kemampuan prosesual dalam mencari informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan. Pengembangan intelektual ini akan selalu berhubungan dengan aspek pengembangan individual. Pengembangan kehidupan sosial berkaitan dengan pengembangan kemampuan dan tanggung jawab siswa sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu tujuan ini mengembangkan kemampuan seperti berkomunikasi, rasa tanggung jawab sebagai warga negara dan warga dunia, kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan bangsa. Termasuk dalam tujuan ini adalah pengembangan pemahaman dan sikap positif siswa terhadap nilai, norma dan moral yang berlaku dalam masyarakat.
Karakteristik dari pendidikan IPS adalah pada upayanya untuk mengembangkan kompetensi sebagai warga negara yang baik. Warga negara  yang baik berarti yang dapat menjaga keharmonisan hubungan di antara masyarakat sehingga terjalin persatuan dan keutuhan bangsa. Hal ini dapat dibangun apabila dalam diri setiap orang terbentuk perasaan yang menghargai terhadap segala perbedaan, baik itu perbedaan pendapat, etnik, agama, kelompok, budaya dan sebagainya. Bersikap terbuka dan senantiasa memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang atau kelompok untuk dapat mengembangkan dirinya.
Oleh karena itu pendidikan IPS memiliki tanggung jawab untuk dapat melatih siswa dalam membangun sikap yang demikian. Selain bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, pendidikan IPS juga mempunyai tujuan yang lebih spesifik.
Tujuan ini dirumuskan oleh Pennsylvania Council for the Social Studies (Clark, 1073; 8), yaitu :
Fokus utama dari program IPS adalah membentuk individu-individu yangmemahami kehidupan sosialnya – dunia manusia, aktivitas dan interaksinya yang ditujukan untuk menghasilkan anggota masyarakat yang bebas, yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk melestarikan, melanjutkan dan memperluas nilai-nilai dan ide-ide masyarakat bagi generasi masa depan. Untuk melengkapi tujuan tersebut, program IPS harus memfokuskan pada pemberian pengalaman yang akan membantu setiap individu siswa.

B. Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Penetapan materi pendidikan IPS yang akan diberikan kepada siswa disusundan direncanakan sedemikian rupa yang memperhatikan teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik dan edukatif. Kesemuanya itu tentu saja akan diarahkan pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan IPS. Ketika dilakukan penyusunan kurikulum pendidikan IPS, langkah awalnya didasarkan pada penetapan landasan filsafat apa yang akan digunakan. Tentunya pengambilan landasan filsafat ini akan mengacu pada berbagai pemikiran yaitu dari segi pengembangan keilmuan itu sendiri, pengembangan siswa sebagai pribadi dan berbagai tuntutan serta kebutuhan dalam masyarakat. Perlu ditekankan bahwa landasan filosofis yang akan kita ambil harus sesuai dengan corak budaya masyarakat kita yang tidak menempatkan keilmuan di atas segala-galanya melainkan harus diimbangi dengan kesadaran dan ketakwaan kepada sang pencipta. Sehingga filsafat pendidikan IPS berada diantara adagium “intellectusquaerens fidem” dan “fides quaerens intellectum”. Pendidikan IPS merupakan suatu synthetic antara disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu sosial itu sendiri maka di dalam pengembangannya tidak saja didasarkan pada pengembangan dari segi keilmuan semata melainkan diarahkan untuk tujuan pendidikan. Teori dan konsep yang digunakan mengacu kepada teori dan konsep yang memiliki relevansinya dengan segi kependidikan. Pada tahap kemudian dari segi penyajiannya harus disesuaikan dengan landasan edukatif pendidikan IPS. Artinya materi yang diberikan harus dilakukan proses penyederhanaan terlebih dahulu yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologis ataupun faktor tingkat kematangan siswa.
Penyederhanaan pendidikan IPS diorganisir dan disiapkan sedemikian rupa dandidasarkan pada tujuan yang hendak dicapai.Berdasarkan uraian tersebut di atas, memperlihatkan bahwa semua factor dan unsur-unsur yang terkandung dalam pendidikan IPS semuanya bermuara kepada tujuan. Penetapan landasan filosofis, akademik dan edukatif serta pengembangan teori dan konsep akan tergantung dari tujuan yang telah ditetapkan. Dimana tujuan dari pengembangan pendidikan IPS meliputi pengembangan intelektual, kemampuan individual serta peranannya dalam masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya akan dibangun melalui suatu pondasi pendidikan IPS yang dirancang oleh keterkaitan yang signifikan antara teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik, dan edukatif dengan tujuannya.
Pengembangan kurikulum pendidikan IPS di Indonesia tidak terlepas dari
landasan filosofis yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut. Landasan filosofis yang dimaksud adalah landasan filosofis kependidikan atau lebih khusus lagi landasan filosofis kurikulum pendidikan ilmu-ilmu sosial (Hasan, 1996; 56). Dalam tradisi pengembangan kurikulum pendidikan IPS di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai aliran filsafat diantaranya esensialisme, eklektik, perenialisme, progressivisme dan rekonstruksi sosial.
Aliran filsafat yang pertama adalah esensialisme. Menurut aliran filsafat ini,kecemerlangan ilmu adalah sesuatu yang harus menjadi kepedulian setiap generasi sebab hanya melalui penguasaan ilmu, masyarakat akan berkembang. Berdasarkan filsafat ini maka pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Pengaruh pemikiran fiilsafat ini terhadap pengembangan kurikulum pendidikan IPS adalah bahwa pendidikan IPS disajikan secara terpisah sesuai dengan keilmuan itu sendiri. Menurut penganut aliran esensialisme bahwa tujuan untuk mendidik menjadi warga negara yang baik akan tercapai dengan sendiirinya apabila intelektualisme siswa dapat dikembangkan dengan baik. Dalam hal ini,  intelektualisme yang dimaksud adalah kemampuan seseorang memecahkan berbagai persoalan yang ada secara keilmuan (Hasan, 1996; 58). Filsafat esensialis memandang bahwa sasaran utama sekolah adalah memperkenalkan siswa pada karakter dasar alam semesta yang sudah mapan dengan cara mewariskan mereka budaya yang telah berkembang sepanjang zaman. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan, esensialisme dipandang sebagai salah satu filsafat yang menekankan pada penguasaan disiplin ilmu secaramonodisipliner yang harus dikuasai oleh siswa melalui proses kegiatan belajar mengajar di kelas (Miller & Seller, 1995). Dengan merujuk pada filsafat ini, proses belajar mengajar di kelas ditekankan pada peran guru yang dominan dan menempatkan siswa sebagai peserta yang menerima warisan nilai yang ditransmisikan atau diekspositorikan oleh guru. Melalui peranan guru, pandangan esensialis menempatkan academic excellence and cultivation of intellect (Hasan, 2004) lebih penting daripada kemampuan untuk mengembangkan proses inquiri guna memproduksi pengetahuan baru. Nampaknya, filsafat kurikulum pendidikan ini tidak relevan dengan pendekatan pendidikan IPS menurut pandangan baru yang menghendaki agar para peserta didik memiliki peran aktif dalam proses inquiri di dalam dan luar kelas. Oleh karena itu, orientasi filosofis kurikulum seperti itu harus segera diubah. Sebab orientasi tersebut tidak bisa menjadi sarana untuk menyiapkan para peserta didik membangun pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan guna menghadapi berbagai tantangan masa depan.
Aliran filsafat selanjutnya adalah aliran eklektik. Aliran filsafat eklektik merupakan perpaduan antara pandangan esensialis dengan campur tangan kepentingan pendidikan. Pendidikan IPS dikembangkan tidak secara tidak secara terpisah melainkan dikembangkan dalam bentuk pendekatan korelasi dan terpadu. Pendekatan yang demikian memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi siswa untuk juga memperhatikan apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya tanpa kehilangan wawasan keilmuan (Hasan, 1996;60).
Aliran filsafat yang ketiga adalah perenialisme. Aliran filsafat ini mengembangkan intelektualisme yang didasrkan pada study yang dinamakan liberal arts. Artinya pengembangan intelektualisme didasarkan dan ditujukan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa, berbicara tentang keagungan dan kejayaaan bangsa. Filsafat perenialisme yang dikembangkan oleh Brameld (dalam O’NMeil, 2001) memandang bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu. Filsafat yang berakar pada pemikiran Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas ini menghendaki adanya pewarisan nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya melalui penyampaian berbagai informasi atau mentransmisikan pengetahuan kepadapeserta didik (Hasan 1996). Berdasarkan pandangan filosofis tersebut, kuriulum di Indonesia menjadi sangat ideologis untuk menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang memilii pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara. Tujuan pewarisan nilai, budaya serta untuk memperkuat integrasi bangsa sangat menonjol dan hal itu sebagai ciri dari kurikulum perenialis. Jadi, pandangan filsafat perenialis menekankan pada transfer of culture (Schubert). Pembelajaran yang dianggap sebagai implementasi kurikulum yangmelibatkan guru dan siswa dalam proses interaksi – menurut Saylor dan Alexander (dalam Miller & Seller, 1995) – tidak dapat dilepaskan dalam konteks social-budaya masyarakat terutama yang menyangkut masalah komunikasi antara pihak-pihak terkait dalam proses pembelajaran. Dalam masyarakat demokratis di negara-negara Anglo-saxon (Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru), komunikasi antara guru dengan siswa dilakukan melalui banyak arah secara egaliter serta menempatkan guru dan siswa sebagai partner yang memiliki peran sama dalam mengembangkan serta mengkonstruksi materi pembelajaran. Nilai-nilai equality, praternity, dan liberty sebagai nilai yang diwariskan dari revolusi Perancis tahun 1789 telah mempengaruhi cara masyarakat tersebut berkomunikasi, termasuk dalam komunikasi antara guru dengan siswa di kelas. Sebaliknya, dalam masyarakat Indonesia yang agraris atau masyarakat transisi yang sedang berubah dari masyarakat agraris ke industri serta dari masyarakat yang belum demokratis, proses pembelajaran sebagai bagian dari implementasi kurikulum dilakukan melalui komunikasi searah dari guru kepada siswa. Model komunikasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosial budaya patronase dan feodalisme yang menempatkan orangtua (guru) lebih tinggi daripada anak (siswa); guru selalu dianggap paling pintar, tidak pernah salah, dan oleh karena itu mereka tidak bisa dibantah oleh anak (siswa). Dalam masyarakat Indonesia yang agraris, model komunikasi patron and client relationship yang diwariskan oleh tradisi kerajaan Mataram dulu (Moertono, 1968) telah diterima sebagai model yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pembelajaran di kelas. Dalam model ini, patron digambarkan sebagai sosok pemuka, pemimpin dan penguasa yang harus dilayani serta memiliki pengaruh yang besar atas sejumlah client yang tergantung kepadanya. Pandangan perenialis dalam pengembangan kurikulum mendapat tempatyang tepat dalam budaya patronase di Indonesia. Pandangan yang bersifat klasik dan menghendaki adanya pewarisan nilai dari generasi terdahulu ke genarasi kemudian tersebut menempatkan siswa dalam posisi yang pasif. Oleh karena itu mudah dipahami apabila para siswa Indonesia yang selalu didorong untuk mengembangkan pembelajaran siswa aktif, menjadi pembelajar yang mandiriserta memiliki kebebasan untuk memilih adalah sangat sulit dilakukan.
Nampaknya, cara siswa Indonesia belajar telah lama terkonstruksi melalui pandangan kurikulum yang diterapkannya serta kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, budaya patronase yang diadopsi dalam implementasi kurikulum kita tidak hanya berpengaruh terhadap proses pembelajaran tersebut melainkan juga terhadap sikap dan perilaku peserta didik setelah mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Sikap selalu tergantung pada orang
lain atau tidak mandiri anak-anak kita merupakan sebuah konsekuensi dari sistem
sosial-budaya yang dianutnya. Dalam budaya patronase terdapat anggapan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tuanya. Anak harus diubah tingkah lakunya sehingga menjadi seorang anak yang sesuai dengan kehendak orang tua. Nampaknya pandangan ini mempengaruhi pengembang kurikulum kita untuk menjadikan peserta didik memiliki pengetahuan atau keterampilan tertentu yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Aliran filsafat yang keempat adalah filsafat progressivisme. Menurut filsafatpendidikan progressivisme, tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan dalam konteks pengalaman siswa pada umumnya. Menurut pandangan ini, pengembangan pembelajaran harus memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif sebagai warganegara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Kinsler & Gamble, 2001).
Aliran filsafat yang terakhir yaitu filsafat rekonstruksi sosial. Aliran filsafatini memandang pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kesejahteraan sosial. Filsafat pendidikan rekonstruksionisme, seperti dikemukakan oleh O’Neil (2001), dapat dipilih sebagai salah satu alternative dalam mengembangkan kurikulum pendidikan IPS untuk masa depan. Orientasi rekonstruksionismeberpandangan bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokratis yang menduinai. Secara filosofis, seorang rekonstruksionis yakin bahwa teori pada puncaknya tidak terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu. Dengan demikian, pikiran adalah sebuah produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, aliran ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok masyarakat mampu mengembangkan pengetahuan, teori atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksi pengetahuan baru.
Dengan beberapa kelemahan yang tidak bisa dihindari, kedua pandangan filsafat ini tidak hanya bertujuan untuk mengubah kondisi masyarakat pada masa sekarang melainkan juga berorientasi untuk shaping the future. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Hasan (2004) yang memilih pengembangan kurikulum pendidikan IPS yang berorinetasi pada pengembangan masyarakat ke arah masa depan. Hal ini terlihat dari pendapatnya berikut ini : […] kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan, dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Kurikulum adalah salah satu faktor dalam proses pendidikan yang berperanseperti “perangkat lunak” dari proses tersebut. Kurikulum mempunyai peranan sentral karena menjadi arah atau titik pusat dari proses pendidikan. Peranan kurikulum sangat penting dan strategis dalam proses pendidikan disamping peranan lain seperti guru, siswa dan sebagainya. Suatu kurikulum mencerminkan baik secara eksplisit maupun tidak asumsi-asumsi yang dianutnya mengenai tujuan dan hakikat pendidikan, tujuan dan hakikat kurikulum, asumsi mengenai siswa, proses pendidikan dan pengajaran, visi penyusunan kurikulum tentang harapan, tuntutan serta kebutuhan yang dihadapi dan akan dihadapi oleh siswa saat ini dan masa yang akan datang. Kurikulum bukanlah faktor yang terpisah dari dinamika tuntutan masyarakat. Muara dari kurikulum adalah masyarakat pemakai jasa pendidikan.Kurikulum yang pada intinya merupakan “formula” atau “resep” yang menjembatani atau mengantarkan siswa dari keadaan kurang atau tidak berpengetahuan dan berketerampilan menjadi insan-insan yang memiliki pengetahuan, terampil dan berguna serta dapat berkontribusi secara positif terhadap perkembangan masyarakat. Dengan demikian, kurikulum seharusnya mempunyai interaksi yang intens dengan karakteristik dan dinamika masyarakat. Kurikulum pada dasarnya berorientasi kepada masa yang akan datang. Dengan demikian penyusunan kurikulum hendaknya mampu mengantisipasi arah perkembangan ilmu pengetahuan dan dampaknya. Penyusunan kurikulum harus memiliki kesempatan untuk berperan dalam menentukan atau mempelopori arah, warna, jenis serta intensitas perubahan di masyarakat. Untuk mempertahankan nilai relevansi yang tinggi antara kurikulum dengan masayarakat, kurikulum perlu secara terus menerus dimonitor dan dievaluasi. Sebagai satu faktor yang dinamik, kurikulum aktif berintegrasi dengan masyarakat pemakainya dan perlu memanfaatkan perkembangan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, keilmuan, teknologi dan sebagainya.
Desain pembelajaran pendidikan IPS yang baik tidak hanya menekankanpada aspek pengembangan intelektual saja tetapi juga mencakup segi pengembangan afektif dan psikomotor siswa. NCSS (1994) menyebutkan bahwa desain kurikulum pendidikan IPS yang baik akan dapat membantu membangun siswa memiliki pandangan yang merupakan paduan dari personal, akademik, pluralis dan global. Oleh karena itu ada empat perspektif yang perludikembangkan. Pertama perspektif personal, yang akan membantu siswa untuk membangun kemampuannya dalam menyelidiki setiap peristiwa, isu serta kejadian yang akan berdampak pada diri, keluarga, bangsa serta masyarakat dunia. Siswa diharapkan dapat memperhitungkan kerugian dan keuntungan serta mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambilnya. Kedua perspektif akademik, proses dan pengalaman pembelajaran yang telah dimiliki siswa dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa. Berbagai konsep yang telah dipelajarinya dapat memberikan pemahaman dan pilihan pandangan tentang kehidupan sosial yang sesungguhnya (nyata). Ketiga perspektif pluralis, siswa dapat menerima dan menghargai kenyataan adanya perbedaan masyarakat dalam hal ras, agama,gender, kelompok dan budaya secara keseluruhan Siswa dapat menerima dan menghargai kenyataan adanya perbedaan masyarakat dalam hal ras, agama, gender, kelompok dan budaya secara keseluruhan. Perbedaan ini diterima oleh siswa sebagai kekayaan sosial dan unsur yang berkualitas di dalam lingkungan masyarakat demokratis. Perspektif ini mengarah kepada pendidikan multikultural. Keempat perspektif global, siswa memiliki kepedulian terhadap lingkungan dunia yang semakin berkurang kekayaan alamnya serta memiliki komitmen dalam menghadapi masyarakat dunia yang majemuk.

C. Disiplin-Disiplin Ilmu Sosial Dalam Pendidikan IPS
Pendidikan IPS yang dikembangkan pada tingkat persekolahan akan sangatberbeda dengan pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat perguruan tinggi. Pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat persekolahan memiliki tujuan untuk membina peserta didik menjadi anggota masyarakat yang dikehendaki bangsa dan masyarakatnya. Tujuan ini menurut Hasan (1996) dinamakan dengan tujuan kepribadian umum. Tujuan kepribadian umum ini harus jelas terumus dan menjadi salah satu patokan dalam mengembangkan tujuan pengajaran dan pemilihan materi pelajaran. Dalam hal pemilihan materi maka pendidikan IPS dijenjang persekolahan melakukan pemilihan yang sangat berorientasi kepada kepentingan pendidikan, bukan pada keilmuan semata.
Materi adalah apa yang dipelajari oleh siswa berdasarkan tujuan yang akan
dicapai. Pendidikan IPS merupakan sintetis antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial maka materi yang dipelajari siswa adalah materi yang berkaitan dengan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu materi yang dikembangkan dalam pendidikan IPS tidak dapat melepaskan diri dari materi yang
dikembangkan dari luar disiplin ilmu sosial yaitu materi-materi yang digunakan untuk mengembangkan sikap dalam proses belajar.
Pengembangan materi kurikulum pendidikan IPS hendaknya memperhatikanscope dan sequence. Scope meliputi bidang ilmu kajian yang menjadi garapanpendidikan IPS. Sedangkan sequence adalah taat urutan antara suatu materi dengan materi lain atau dalam konteks kurikulum berkenaan dengan tata urutan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Sequence dapat dikelompokkan atas dua pendekatan yaitu pendekatan logis dan pendekatan pedagogis. Pendekatan logis didasarkan pada pemikiran logis suatu disiplin ilmu sedangkan pendekatan pedagogis didasarkan pada pertimbangan siswa dan bukan tata urutan yang ada dari disiplin ilu. Kriteria seperti kemudahan, familiarisasi dengan pokok bahasan serta tingkat abstrak suatu materi pokok bahasan dijadikan
dasar pertimbangan. Materi pendidikan IPS dikembangkan dari disiplin-disiplin ilmu sosial yang kemudian disintesiskan dengan ilmu pendidikan dan disajikan dengan didasarkan pada tujuan pendidikan tertentu.
Sampai saat ini, Indonesia mengalami beberapa kali pergantian kurikulum.Setiap kurikulum memiliki karakterisitik tersendiri termasuk dalam hal disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS. Dalam hal ini pembicaraan tentang kurikulum akan diawali dari kurikulum tahun 1964 sampai pada kurikulum tahun 2006. Selain itu pembahasan tentang kurikulum tersebut hanya mengkaji disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulumtersebut.
Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum tahun 1964 meliputi mata pelajaran Sejarah Indonesia, Geografi Indonesia, Ekonomi dan pendidikan kewarganegaraan dalam mata pelajaran civics. Mata pelajaran Sejarah Indonesia dan Geografi Indonesia dianggap sebagai mata pelajaran yang memilikiperan penting dalam membina kualitas siswa yang diharapkan. Suasana kehidupan  politik pada saat itu memerlukan adanya upaya pendidikan yang diarahkan untuk membentuk identitas bangsa yang kuat. Pelajaran Sejarah akan mampu memberikan landasan yang kuat karena ia akan mampu menggambarkan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat dan akekuasaan yang ada di wilayah Nusantara. Sementara melalui Geografi Indonesia, siswa diperkenalkan pada wilayah Republik Indonesia dengan berbagai keragaman corak lingkungan fisik dan budayanya.Seiring dengan terjadinya perubahan politik pada saat itu yaitu denganterjadinya pergantian pemerintahan dari pemerintah Orde Lama kepada pemerintah Orde Baru maka berpengaruh pula pada perubahan kurikulum. Kurikulum 1964 digantikan oleh kurikulum 1968. Dalam kurikulum 1968, disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS masih meliputi pendidikan Sejarah, geografi dan ekonmi. Perubahan yang paling utama terlihat dari perubahan mata pelajaran civics menjadi kewarganegaraan. Mata pelajaran ini kemudian berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dan terakhir disebut dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pada kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum tahun 1975, disiplin ilmu sosialyang dikembangkan dalam pendidikan IPS lebih beragam. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum 1975 meliputi geografi dan kependudukan, sejarah ekonomi-koperasi, antropologi budaya serta tata buku dan hitung dagang. Perubahan yang signifikan terlihat dalam disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum tahun 1984. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum 1984 memasukkan disiplin ilmu sosiologi, antropologi, hukum, politik disamping disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi. Selain itu dalam kurikulum tahun 1984 dimasukkan kajian-kajian kemasyarakatan yang diintegrasikan dalam pendidikan IPS. Kajian tersebut adalah tentang lingkungan hidup dan keluarga berencana yang dirumuskan dalam tujuan kurikuler mata pelajaran geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi dan tata negara.
Kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum tahun 1994 tidak terjadi perubahan yang berarti dalam hal disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS berdasarkan kurikulum 1994 masih meliputi sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan hukum. Perubahan hanya terlihat dari pergantian label mata pelajaran geografi menjadi ilmu bumi serta adanya pemisahan mata pelajaran sosiologi dan antropologi pada tingkat SMA yang sebelumnya diberikan dalam satu mata pelajaran sosiologi-antropologi.
Demikian juga pada kurikulum tahun 2004, disiplin ilmu sosial yang dikembangkan masih meliputi sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan hukum. Hanya saja pada kurikulum tahun 2004, mata pelajaran sejarah disatukan dengan pendidikan kewarganegaraan. Namun pada kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum tahun 2006, sejarah dikembangkan secara terpisah dengan pendidikan kewarganegaraan. Perubahan yang cukup signifikan dalam pengembangan Pendidikan IPS melalui kurikulum tahun 2004 dan 2006 adalah dimasukkannya kajian tentang masyarakat multikultural, pendekatan ilmuteknologi dan masyarakat serta pendekatan kemasyarakatan dalam menghadapi persaingan di era globalisasi.
Memperhatikan disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan IPS di Indonesia maka kita dapat menyimpulkan bahwa tradisi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia biasanya terdiri dari disiplin ilmu ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, politik, hukum dan pendidikan kewarganegaraan. Apabila kita bandingkan dengan tradisi social studies di Amerika Serikat maka disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam socialstudies lebih beragam bila dibandingkan dengan tradisi pendidikan IPS di Indonesia. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam social studies di Amerika Serikat meliputi antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, religi dan sosiologi. Selain itu bidang ilmu lain yang dianggap memiliki relevansi dan dapat mendukung pengembangan social studies seperti ilmu kemasyarakatan, matematika dan ilmu-ilmu kealaman menjadi bagian dari kajian social studies.
Meskipun demikian, disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS di Indonesia dianggap dapat mewakili pencapaian tujuan yang diharapkan. Pengembangan pendidikan IPS yang ditujukan sebagai pembentukan kewarganegaraan dapat dikembangkan melalui pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan serta sejarah. Pengembangan pendidikan IPS sebagai ilmu sosial yang merujuk pada pengembangan segi keilmuan sosial itu sendiri dapat diwakili oleh beberapa disiplin ilmu seperti geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, dan antropologi.
Untuk Indonesia sendiri, tradisi pendidikan IPS yang berlaku biasanya diberikan dalam bentuk inter dan mono disipliner. Setiap tingkatan persekolahan diberikan pendidikan IPS dengan struktur pemberian materi yang berbeda yang disesuaikan dengan tingkat usia siswa. Untuk tingkat sekolah dasar diberikan materi pendidikan IPS yang dikemas secara terpadu dengan mengambil tema-tema yang berkaitan dengan bidang sosial. Pada tingkat SLTP, pendidikan IPS diberikan secara interdisipliner yang terdiri dari bidang ilmu sejarah, geografi dan ekonomi.
Sedangkan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan diberikan secara terpisah. Sementara itu untuk tingkat sekolah menengah atas, pendidikan IPSdiberikan secara terpisah dalam arti dikembangkan secara tersendiri menurut masing-masing disiplin ilmu.
Dilakukan organisasi materi dalam pengembangan model dan prosedur pengembangan materi kurikulum pendidikan IPS. Organisasi materi ini akan membahas mengenai bagaimana materi yang ada diatur sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam arti kata lain, organisasi materi berbicara tentang bagaimana cara mengemas pendidikan IPS yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan siswa.
Bentuk pendidikan IPS akan sangat tergantung dari definisi atau pengertian yang dianut seseorang tentang pendidikan IPS. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dalam bentuk penyajian pendidikan IPS. Pendapat pertama mengemukakan bahwa materi dari disiplin-disiplin ilmu sosial dijadikan sebagai salah satu sumber materi pokok bahasan kurikulum pendidikan. Sedangkan pendapat kedua melihat pendidikan ilmu sosial merupakan pendidikan dari ilmu-ilmu sosial dalam pengertian bahwa pendidikan IPS dikembangkan dari disiplin ilmu sosial sebagai satu-satunya sumber materi pendidikan. Berdasarkan pendapat kedua maka terdapat beberapa cara pengorganisasian materi disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS, yaitu :
1.      Organisasi terpisah.
Merupakan bentuk organisasi kurikulum yangmengajarkan setiap disiplin ilmu-ilmu sosial secara terpisah berdasarkan ciridan karakteristik masing-masing disiplin ilmu.
2.      Organisasi korelatif/ berhubungan.
Merupakan bentuk organisasi materi yangmencoba mencari keterkaitan pembahasan antara satu pokok bahasan denganpokok bahasan lainnya tanpa menghilangkan ciri dari satu disiplin ilmu sosialyang utama. Dengan keterkaitan, siswa belajar mengenai satu pokok bahasandari disiplin lain.
3.      Organisasi fusi/ terpadu.
Merupakan peleburan dari berbagai bidang ilmu-ilmusosial yang dikemas sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan pendidikandan kepentingan siswa.
Organisasi materi pendidikan IPS pada tingkat sekolah dasar menggunakanpendekatan secara terpadu/ fusi. Materi pendidikan IPS yang disajikan pada tingkat sekolah dasar tidak menunjukkan label dari masing-masing disiplin ilmu sosial. Materi disajikan secara tematik dengan mengambil tema-tema sosial yang terjadi di sekitar siswa. Demikian juga halnya tema-tema sosial yang dikaji berangkat dari fenomena-fenomena serta aktivitas sosial yang terjadi di sekitar siswa. Tema-tema ini kemudian semakin meluas pada lingkungan yang semakin jauh dari lingkaran kehidupan siswa. Pendekatan seperti ini dikenal dengan model pendekatan kemasyarakatan yang meluas (Expanding community approach) yang pernah dikembangkan oleh Paul R. Hanna pada kurun waktu tahun 1963-an.
Materi IPS dikembangkan dari fenomena-fenomena sosialyang terjadi dekat dengan lingkungan siswa kemudian meluas pada lingkungan sekolah, masyarakat sekitar tempat tinggal siswa, lingkungan kota dimana siswa tinggal, propinsi, Negara dan kemudian ke wilayah regional Negara tetangga bahkan sampai lingkungan dunia. Selain ruang lingkup kajian yang semakin meluas, tema-tema yang disajikan berangkat dari hal-hal yang sederhana menuju pada permasalahan sosial yang semakin kompleks.

D.  FungsiPembelajaranIPS
Membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna, keterampilan sosial dan intelektual dalam membina perhatian serta kepedulian sosial nya sebagai SDM yang bertanggung jawab dalam merealisasikan tujuan nasional.

E.  Konsep Pembelajaran IPS
Konsep dasar IPS yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dalam ilmu-ilmu Sosial sangat dibutuhkan sebagai bahan pembelajaran pada tingkat persekolahan mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan, maupun sebagai bahan pengembangan kemampuan data nalar para mahasiswa di Penguruan Tinggi. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita mengenal dan mengembangkan konsep-konsep dasar IPS yang dihasilkan atas pengembangan, pengujian, dan penelaahan Ilmu-Ilmu Sosial.
Dorothy J. Skeet (1979: 18) menyatakan bahwa konsep adalah sesuatu yang tergambar dalam pikiran suatu pemikiran, gagasan atau suatu pengertian.
James G. Womack (1970: 30) mengemukakan pengertian tentang konsep, terutama berkaitan dengan Studi Sosial (IPS) sebagai berikut:
Konsep IPS yaitu suatu kala atau ungkapan yang berhubungan dengan sesuatu yang menonjol, sifat yang melekat. Pemahaman dan penggunaan konsep yang tepat bergantung pada. Penguasaan sifat yang melekat tadi, dan pengertian umum kata yang bersangkutan. Konsep memiliki pengertian denokatif dan juga pengertian konotatif.
Pengertian denotatif adalah pengertian berdasarkan arti katanya yang dapat digali dalam kamus, sedangkan pengertian konotatif adalah pengertian yang tingkatnya tinggi dan luas.
Konsep-konsep dan fakta menurut IPS yang penting untuk dapat dipahami dan dipecahkan berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Misalnya, di dalam geografi tentang perusakan lingkungan, akhirnya terjadi gejala kerusakan alam yang tidak hanya kerusakan geografi belaka, namun secara ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik, hukum dan lainnya pun menjadi tidak seimbangatau berkaitan erat.
Bahwa bidang studi IPS, pada hakikatnya merupakan perpaduan pengetahuan sosial seperti dikemukakan oleh Nursid Sumaatmadja (1984) adalah untuk SD inti merupakan perpaduan antara georafi dan sejarah.
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), harus bersamaan dengan pengembangan nilai-nilai yang dimaksud pembelajaran IPS, nilai-nilai tersebut dikelompokkan menjadi 5 yaitu meliputi:
1.      NilaiEdukatif
2.      NilaiPraktis
3.      NilaiTeoretis
4.      Nilai Filsafah
5.      NilaiKetuhanan

F.     Karakteristik Konsep Dasar IPS
Tujuan utama setiap pembelajaran Ilmu Sosial adalah membentuk warrga negara yang baik (Good Citizenship), demikian pula IPS memiliki tujuan yang sama, namun dalam proses penyajiannya IPS memiliki karakteristik tersendiri, dalam arti tidak sama dengan karakteristik Ilmu-ilmu Sosial. Walaupun demikian, keberadaan Ilmu-ilmu Sosial tidak dapat dipisahkan dari IPS karena konsep-konsep Ilmu Sosial merupakan sumber utama bagi pengembangan materi pembelajaran IPS.
Ruang lingkup IPS tidak lain adalah kehidupan sosial manusia di masyarakat. Masyarakat inilah yang menjadi sumber utama IPS. Aspek kehidupan sosial apapun yang kita pelajari, apakah itu hubungan sosial, Ekonomi, Budaya, Kejiwaan, Sejarah, Geografi, atau Politik bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu, tugas seorang pembelajar adalah membelajarkan peserta didik dalam rangka meningkatkan kompetensi yang telah para peserta didik miliki. Hal ini mengandung arti bahwa peserta didik telah memiliki pengetahuan masing-masing sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya selama mereka tinggal di masyarakat. Dalam upaya memanusiakan manusia (peserta didik) proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat usia peserta didik masing-masing.
Ada 3 aspek yang dikaji dalam proses pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yaitu:
1.      Memberikan berbagai pengertian yang mendasar (Kognitif)
2.      Melatih berbagai keterampilan (Psikomotor)
3.      Mengembangkan sikap moral yang dibutuhkan (Apektif)
Karakteristik IPS diantaranya :
1.      Integrated (terpadu)
2.      Interdisipliner (dapat dikaji dari satu bidang ilmu pengetahuan)
3.      Multidisipliner (dapat dikaji dari berbagai bidang keilmuan/rumpun pelajaran)
4.      Psiko pedagogis (kajian IPS harus mempertimbangkan kemampuan berfikir siswa dengan memperhatikan Psikologi perkembangan mereka.
5.      Cross disipliner (menyilangkan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain yang relevan)
6.      Social learning (dalam IPS harus ada aspek ilmu yang bisa dipelajari)
7.      Social education (dalam IPS harus ada ilmu yang bisa diambil)
8.      Synthetic discipline
9.      Scientific boundary line
10.  Kajian Sistematika.
Untuk membahas karakteristik IPS, dapat dilihat dari berbagai pandangan. Berikut ini dikemukakan karakteristik IPS dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.
1. Materi IPS             
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a.       Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai permasalahannya.
b.      Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi, transportasi.
c.       Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d.      Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
e.       Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan, keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum” (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pendidikan IPS merupakan hasil rekayasa “inter cross” dan “trans disipliner” antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu sosial murni untuk tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih tinggi.
2.      Pengembangan kurikulum pendidikan IPS di Indonesia tidak terlepas dari landasan filosofis yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut. Landasan filosofis yang dimaksud adalah landasan filosofis kependidikan atau lebih khusus lagi landasan filosofis kurikulum pendidikan ilmu-ilmu sosial (Hasan, 1996; 56).
3.      Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum tahun 1964 meliputi mata pelajaran Sejarah Indonesia, Geografi Indonesia, Ekonomi dan pendidikan kewarganegaraan dalam mata pelajaran civics.
4.      Membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna, keterampilan sosial dan intelektual dalam membina perhatian serta kepedulian sosial nya sebagai SDM yang bertanggung jawab dalam merealisasikan tujuan nasional.
5.      Konsep dasar IPS yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dalam ilmu-ilmu Sosial sangat dibutuhkan sebagai bahan pembelajaran pada tingkat persekolahan mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan, maupun sebagai bahan pengembangan kemampuan data nalar para mahasiswa di Penguruan Tinggi.
6.      Karakteristik IPS dapat dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.

B.     Saran
Dalam penyususan makalah ini tidaklah sempurna, tapi semoga isi dari makalah ini Karakteristik Pembelajaran IPS di Kelas Tinggi dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang lebih luas bagi para pembaca. Kami berharap khususnya untuk para Dosen dan Mahasiswa bisa menggunakan makalah ini menjadi sebuah revisi dan bisa lebih mengembangkannya mejadi lebih baik lagi.