Rabu, 15 April 2015

KEBUDAYAAN



A. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat menurut Melville J. Herskovits dan bronislaw Malinowski dalam wikipedia mengemukaakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural deteminism.
Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai super organik.
Menurut selo soemardjan dan soelaiman soemardi dalam wikipedia kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditunjukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan banyak diartikan dari berbagai bahasa, diantaranya cultuur dari Bahasa Belanda, culture dari Bahasa Inggris, dan dari Bahasa Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam (dalam Ahmadi, 1991:58).
Dilihat dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi, karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli (dalam Effendi, 2007:92):
1.    E. B Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.    R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3.    Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
4.    Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudyaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ini, dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan hasil dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani agar hasilnya dapar digunakan untuk keperluan masyarakat, misalnya:
a.    Karya (kebudayaan material) yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda atau lainnya yang berwujud benda
b.    Rasa, di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur ekspresi jiwa manusia yang mewujudkan nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial
c.    Cipta merupakan kemampuan mental dan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan
5.    Herkovis, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
Jadi, kebudayaan itu memiliki sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan merupakan totalitas, merupakan keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, kebiasaan dan lain-lain, kapabilitas dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diperoleh oleh manusia di dalam masyarakat. Pencipta kebudayaan adalah manusia, sedangkan fokus kebudayaan adalah masyarakat.
B. Wujud Kebudayaan
Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson (Sosiolog) dan Al Kroeber (Antropologi) dalam (Effendi, 2007:93) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam sebagai suatu sistem. Dimana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J.J. Hogmann dalam bukunya The World of Man (1955) dalam (Effendi, 2007:93) membagi budaya dalam tiga wujud, yaitu ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat (dalam Effendi) mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, diantaranya:
1.    Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan.
Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adata atau adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam arsip, komputer dan sebagainya.
Kesimpulannya, budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan dari kebudayaan yang bersifat abstrak.
2.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat.
Kesimpulannya, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit, dalam bentuk perilaku dan bahasa.
3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud yang terakhir ini disebut juga kebudayaan fisik. Dimana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil.
Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit, dalam bentuk materi/artefak.
Berdasarkan penggolongan wujud budaya tersebut, maka wujud kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi;
a.    Budaya yang bersifat abstrak
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, budaya yang bersifat abstrak ini letaknya ada di dalam pikiran manusia, sehingga tidak dapat diraba atau difoto. Karena terwujud sebagai ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan cita-cita. Dengan demikian, budaya yang bersifat abstrak adalah wujud budaya ideal dari budaya. Ideal disini berarti sesuatu yang seharusnya atau sesuatu yang diinginkan manusia sebagai anggota masyarakat yang telah menjadi aturan main bersama.
b.    Budaya yang bersifat konkrit
Wujud budaya yang bersifat konkrit berpola dari tindakan atau perbuatan dan aktivitas manusia di dalam masyarakat yang terlihat secara kasat mata.
Sebagaimana disebutkan Koentjaraningrat (dalam Effendi, 2007) wujud budaya konkrit ini dengan sistem sosial dan fisik yang terdiri dari perilaku, bahasa, dan materi.


1)   Perilaku
Perilaku adalah cara bertindak atau bertingkah laku tertentu dalam situasi tertentu. Setiap perilaku manusia dalam masyarakat harus mengikuti pola-pola perilaku masyarakatnya. Pola-pola perilaku adalah cara bertindak seluruh anggota suatu masyarakat yang mempunyai norma-norma dan kebudayaan yang sama.
2)   Bahasa
Bahasa berfungsi sebagai alat berpikir dan alat berkomunikasi. Tanpa berpikir dan berkomunikasi kebudayaan sulit ada. Melalui bahasa kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dikembangkan, serta dapat diwariskan pada generasi mendatang. Bahasa bermanfaat bagi manusia, bahasa dapat menjelaskan ketidakmengertian manusia akan sesuatu hal. Dengan demikian, bahasa dapat menambah pengetahuan manusia, memperluas cakrawala pemikiran, melanggengkan kebudayaan.
3)   Materi
Budaya materi merupakan hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Bentuk materi ini berupa pakaian, alat-alat rumah tangga, alat produksi, alat transportasi, alat komunikasi, dan sebagainya.
C. Unsur-unsur Kebudayaan
Adanya perbedaan wujud  kebudayaan antara satu budaya dengan budaya lain disebabkan karena dalam masyarakat terdiri atas berbagai unsur, baik yang besar maupun yang kecil yang membentuk satu kesatuan. Ada banyak pendapat tentang unsur-unsur yang membentuk suatu kebudayaan (Effendi, 2007:98), antara lain:
1.    Melville J. Herskovits, unsur-unsur kebudayaan terdiri atas sebagai berikut:
a.    Alat-alat teknologi
b.    Sistem ekonomi
c.    Keluarga
d.   Kekuasaan politik
2.    Bronislaw Malinowski, menyebutkan unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut:
a.    Sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antar anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya
b.    Organisasi ekonomi
c.    Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan
d.   Organisasi kekuatan
3.    C. Kluckhohn, berpendapat bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal), artinya unsur ini dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa di dunia, yaitu:
a.    Sistem religi
b.    Sistem pengetahuan
c.    Sistem mata pencaharian hidup
d.   Sistem peralatan hidup atau teknologi
e.    Organisasi kemasyarakatan
f.     Bahasa
g.    Kesenian
Unsur-unsur atau bagian-bagian kebudayaan menurut Linton (dalam Ahmadi, 1991:62), culture atau kebudayaan dibagi menjadi:
1)   Cultural universal, misalnya mata pencaharian, kesenian, agama, ilmu pengetahuan, kekerabatan dan sebagainya.
2)   Cultural activities, kegiatan-kegiatan kebudayaan misalnya dari mata pencaharian tadi terdapat pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, perdagangan dan sebagainya.
3)   Tarits complexes, bagian-bagian dari cultural activities tadi. Misalnya dari pertanian terdapat irigasi, pengolahan sawah, masa panen dan sebagainya.
4)   Traits, bagian-bagian dari traits complexes tadi. Misalnya dari sistem pengolahan tanah terdapat bajak, guru, cangkul, sabit dan sebagainya.
5)   Items, bagian-bagian di dalam traits kebudayaan. Misalnya dari bajak masih terdapat bagian-bagiannya, yakni mata bajak, tangkai bajak, pasangan, kendali dan sebgainya.
Gabungan dari beberapa aktivitas budaya menghasilkan unsur-unsur budaya menyeluruh. Terjadinya unsur budaya tersebut dapat melalui discovery, yaitu penemuan yang terjadi secara tidak sengaja atau kebetulan yang sebelumnya tidak ada, invention, yaitu penemuan atau usaha yang disengaja untuk memperoleh hal-hal baru.
D. Manusia Makhluk Berkebudayaan
Masyarakat sebagai wadah dan budaya sebagai isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua komponen yang bersatu. Setiap masyarakat memiliki budaya dan setiap budaya pasti ada masyarakat yang memilikinya. Masing-masing masyarakat seringkali memiliki budaya yang bersifat khas, yaitu hanya dimiliki oleh masyarakat tersebut, misalnya dalam bidang seni, angklung dan seruling sebagai ciri khas budaya sunda, dan sebagainya.

1.    Pola tingkah laku kelompok
Para ahli sosiologi telah mempergunakan beberapa istilah untuk menggambarkan pola tingkah laku kelompok, beberapa istilah itu diantaranya, folkways atau kebiasaan harian (tingkah laku harian), mores dan institusi.
Istilah folkways atau kebiasaan harian itu mencakup beberapa faktor sebagaimana halnya, cara memberi salam, dan sebaginya. Mores adalah cara bertingkah laku dengan nada emosi yang dihubungkan dengan sikap benar atau salah. Sedangkan institusi atau lembaga adalah pola tingkah laku telah terikat oleh kebutuhan atau pertimbangan yang spesifik, misalnya institusi keluarga, keluarga itu lebih atau bukan hanya seorang suami dengan isterinya dan anak-anaknya yang tinggal serumah, tetapi juga mencakup seluruh pola–pola tingkah laku kelompok, seperti persaingan, pertunangan dan perkawinan, rasa tanggung jawab, kerjasama, status, persahabatan dan cinta kasih.
Diantara folkways, mores dan institusi tidak terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam. Batas-bata yang tajam terdapat pada masyarakat-masyarakat tertentu dan pada zaman-zaman tertentu. Misalnya pola tingkah laku tari-tarian ada suatu masyarakat yang menolak tarian, yang lain menganggap sebagai folkways, sebagai kebiasaan harian menyenangkan, sedang yang lain lagi tarian dipakai dalam upacara-upacara tertentu, bahkan pada bangsa Indian tarian termasuk upacara agama. Masyarakat Indonesia menganggap bahwa tarian sebagai faktor perusak moral anak, sedang di Amerika hal semacam itu lumrah saja di kalangan pemuda-pemudi dan orang dewasa serta tua sekalipun.
Poligami misalnya, untuk sautu masyarakat diizinkan (pada agama Islam) sedangkan pada masyarakat yang lain merupakan larangan (pada agama Khatolik) dan masih banyak contoh-contoh untuk menunjukkan batas-batas yang tak begitu tegas antara folkways, mores dan institusi.

2.    Ciri-ciri khas kebudayaan
Kebudayaan itu mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Diantara berbagai ciri yang khas dari kebudayaan ialah komulatif dan dinamis.
a.    Kebudayaan  pada hakikatnya adalah komulatif, merupakan tumpuk-tumpukan, lapisan-lapisan atau stratifikasi. Sifat komulatif dari kebudayaan disebabkan adanya unsur-unsur lama dan baru dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan hal ini jelas sekali pada historiografi kebudayaan. Misalnya soal pakaian, dahulu kala orang-oranng memakai daun-daunan untuk menutup tubuhnya, kemudian kulit kayu, kulit binatang, anyaman serta serat, kemudian timbul kepandaian menenun dengan tangan, kemudian timbul mesin tenun.
b.    Hidup kebudayaan laksana gelombang yang mempunyai saat-saat naik, saat-saat turun dan saat-saat lenyap, demikian silih berganti secara kontinyu. Seperti halnya manusia, kebudayaan pun mempunyai saat lahir, tumbuh berkembang, tua, akhirnya bisa mati. Di dalam hidupnya, kebudayaan itu mengalami perubahan-perubahan, maka tampaklah ada gerak dan pula pada kebudayaan, ada dinamika dari kebudayaan, sehingga kebudayaan itu dinamis, maju, progressif, serta usaha-usaha manusia di dalam perjuangan hidupnya selalu meningkat, selalu bertambah maju.
Sebagian besar secara objektif  yang dapat cepat berubah ialah  kebudayaan yang berhubungan dengan material, dan diantara kebudayaan material ini ada perubahan-perubahannya, lambat, misalnya kerajinan tangan (manufacture) di dalam masyarakat, ini lambat perubahan dan perkembangannya, sedangkan yang perubahannya serempak misalnya sistem-sistem sosial atau timbul dan tenggelamnya feodalisme atau timbul dan tenggelamnya kapitalisme industrial: Sirkulair daripada sistem.  perubahan-perubahan yang  kedua ialah yang berhubungan dengan kebudayaan non material dan dari hal ini lambat (sedikit demi sedikit) ialah timbul dan tenggelamnya sekte keagamaan atau bentuk manager kota daripada pemerintahan, sedangkan yang perubahannya serempak misalnya perubahan-perubahan dalam pola-pola yang lebih fundamental pada totalitarianisme atau hak keturunan. Sedangkan komposisi kebudayaan dalam hal ini yang lambat perubahannya ialah timbul dan jatuhnya dinasti-dinasti dan pada tingkat yang serempak ialah timbul dan jatuhnya kebudayaan Yunani pada masa-masa awalnya.
Sehubungan dengan perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat sirkulair ini maka Moh. Ali mengemukakan teori siklus cakra manggilingan, bahwa kebudayaan itu tumbuh menjadi besar dewasa berkembang-surut-mati, begitu gilir gumanti seterusnya. Sedangkan menurut analisa historis dilakukan oleh Arnold J. Toynbee terhadap kebudayaan di dunia ini menurut pola-pola perkembangan sebagai berikut, the genesis the growth – thr break down – the desintegration. Jadi dari mulai masa timbulnya atau kelahiran kebudayaan – kemudian kebudayaan itu tumbuh dan berkembang kemudian mengalami masa menurun dan akhirnya hancur.
Sedangkan menurut Herbert Spencer sebagai sosiologi yang dipengaruhi oleh teori-teori biologi pada zamannya, percaya bahwa perubahan sosial adalah sinonim dengan evolusi sosial, uniformitas, graduil dan progresif. Dari semua perubahan sosial dan jalan atas prinsip tadi, dan prinsip perubahan sosial itu menunjukkan arah pada perkembangannya, dari penyesuaian yang kurang memuaskan ke arah penyesuaian yang lebih memuaskan, dari bentuk-bentuk yang lebih tinggi.
Konsep evolusioner daripada perubahan-perubahan masyarakat ini kemudian diikuti oleh sosiolog-sosiolog yang lain misalnya L.H Morgan, tetapi mendapat tantangan dari Lester Ward ialah seorang penulis di Amerika pada masa itu. Ward menolak konsep biologi daripada seleksi alam dan the Survival of th fittest bila diterapkan pada survival daripada kebudayaan dan tidak menyetujui teori ketidaksanggupan maju, dan mengajukan pendapat bahwa manusia dapat menentukan, mendeterminir tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan manusia itu mengarahkan perubahan sosial ke arah pencapaian tujuannya, dan bahwa pendidikan adalah media yang vital untuk mencapai tujuan itu. Pendidikan memberikan alat-alat unutk mencapai maksud manusia. Sekolah amatlah penting ditinjau dari perubahan yang bertujuan dan mempunyai fungsi sosial yang lebih besar daripada peranannya mengajar individu.
Di dalam perubahan-perubahan sosial itu seringkali didapat apa yang dinamakan social lag atau curtural yang merupakan suatu konsep kehidupan sosial yang fundamental.
Sosial lag adalah suatu peristiwa-peristiwa dan proses perubahan sosial dimana terdapat unsur-unsur kebudayaan yang jauh tertinggal perubahannya dibanding dengan unsur-unsur yang lain. Dengan adanya social lag ini maka seringkali terjadi perubahan-perubahan sosial yang tidak seimbang. Ataupun ada suatu aspek kebudayaan yang tidak dapat atau amat sukar untuk ditembus oleh kebudayaan lain misalnya hidup gotong royong pada rakyat Indonesia adalah digasak oleh kebudayaan lain.
Untuk mengikuti gejala social lag itu dapat diikuti misalnya pada analisa Ogburn yang antara lain mengemukakan, bahwa dengan adanya perubahan-perubahan sosial akan terjadilah pertumbuhan dan perkembangan daripada pola-pola tingkah laku sosial dalam folkways, mores dan lembaga-lembaga serta pola-pola tingkah laku yang lain. Dan hal ini merupakan kekuatan bagi pendidikan untuk membimbing, menididik anak-anak dan pemuda dalam menghadapi kebudayaandunia secara realistik dan mengarah pada perkembangan-perkembangan yang lebih tinggi terhadap tujuan-tujuan manusia.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa dalam perubahan-perubahan sosial itu seringkali terjadi social lag, maka terdapat faktor-faktor penghalang dalam perubahan sosial itu atau disebut dengan faktor negatif diantaranya adalah overlapping daripada generasi-generasi, cultural inertia, vested interests dan keisolasian.
Sepanjang abad manusia seringkali mempunyai ide-ide yang utopis, misalnya manusia tidak boleh benci, manusia tidak boleh menggunakan diskrimansi, dan sebagainya, tetapi dalam kenyataannya hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi , tidak pernah manusia mempunyai keturunan yang bebas dari rasa benci, rasa untuk mendiskriminir sesuatu. Bayi, anak-anak dan pemuda-pemudi lahir dan dibesarkan di dalam keluarga dan masyarakt, mendapat pengaruh-pengaruh dari orang-orang dewasa, meraka belajar pada orang tuanya. Supervisi, sikap, pola tingkah laku, standar norma, ditundakan, diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya tak hentinya-hentinya, pewarisan kebudayaan itu turun temurun dari generasi ke generasi tak ada putus-putusnya.
Berhubungan dengan overlapping daripada generasi-generasi ialah apa yang dinamakan cultural inerti-kepuasan terhadap sesuatu yang telah ada, dan takut kepada adanya perubahan-perubahan. Penemuan-penemuan alat baru yang lebih menguntungkan mereka tolak, berbahaya bagi rakyat.
Hal ketiga yang menahan perubahan sosial adalah vested in terest, baik individual maupun golongan. Sebab jika ada perubahan sosial membuat mereka takut kehilangan pangkatnya, dan membuat mereka gengsi, dan sebagainya. Vested in terest itu tidak hanya bersifat finansial tetapi juga bersifat pribadi, bersifat sosiopsikologis, misalnya takut turun kewibawannya. Dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan industri banyak bersarang vested in terest ini dan menghalang akan adanya perubahan sosial untuk kemajuan. Misalnya bangsa-bangsa di dunia takut menerima dan memakai bahasa umum yang dipakai sebagai bahasa penghantar, mereka takut jika bahasa bangsanya akan musnah.
Dengan adanya interaksi baik langsung maupun tidak langsung antara kelompok yang satu dengan yang lainnya maka akan terjadi pertukaran-pertukaran unsur kebudayaan satu sama lain. Difusi dapat terjadi secara langsung, misalnya karena hasil kontak satu kelompok dengan yang lain, dan dapat pula terjadi difusi tidak langsung misalnya kontak dengan radio, buku-buku, film, dan  bahkan adanya infiltrasi barang-barang dan ideologi.
Difusi adalah suatu peristiwa dengan prinsip adanya percampuran, adanya penerimaan unsur-unsur kebudayaan dari kebudayaan lain. Proses percampuran kebudayaan itu selain daripada difusi dikenal pula peristiwa assimilasi, akulturasi, dan akomodasi kebudayaan.
Assimilasi kebudayaan adalah persatupaduan antara dua unsur kebudayaan yang merupakan satu campuran senyawa, menunjukkan satu gejala pola tingkah laku. Misalnya dengan adanya assimilasi perkawinan di antara suku-suku warga negara bangsa Indonesia akan menghasilkan generasi muda yang mempunyai pola tingkah laku assimilatif antara warisan-warisan orangtua dan anak, terutama dengan pendidikan yang seragam.
Akulturasi adalah suatu proses percampuran kebudayaan asli dan asing. Pada umumnya ahli-ahli ilmu kebudayaan dan sosiologi sependapat bahwa unsur-unsur kebudayaan yang lebih tinggi akan diterima oleh kebudayaan yang lebih rendah. Dalam menyelidiki hasil akulturasi kebudayaan terutama di dalam prosesnya, tidak cukup hanya mempelajari salah  satu kebudayaan, tetapi semua kebudayaan yang mengadakan akulturasi harus kita selidiki.
Demikian pula jika kita hendak mendidikkan kebudayaan secara akulturatif kepada anak-anak. Inilah prinsip pertama dari pada akulturasi kebudayaan, ialah menyelidiki dua faktor atau lebih yang bersatu padu. Dalam mendidik anak dan cucu kita tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, tetapi dalam proses akulturasi pun menuntut pengertian daripada pendidikan. Jadi tegasnya, kita pun mendidik generasi muda untuk mengadakan akulturasi kebudayaan dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya akulturasi pendidikan tergeraklah orientasi pikiran penerima kebudayaan asing.
Selanjutnya yang menjadi prinsip dalam  proses akulturasi kebudayaan yang menerima melanjutkan corak dan tabiatnya yang asli dengan dilengkapi oleh unsur kebudayaan asing dan digeneralisasikan dengan kebudayaan asli. Misalnya dengan akulturasi bahasa, penerimaan istilah-istilah dari bahasa asing dalam penggunaannya bagi bahasa Indonesia menurut aturan bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Dalam akulturasi kebudayaan tidak semua unsur kebudayaan asing diterima, tetapi dilakukan seleksi unsur-unsur mana yang pantas diterima dan ditolak, hal mana diselaraskan dengan sikap jiwa dan mental bangsa yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia, semua penerimaan dan penolakan unsur-unsur kebudayaan asing tegasnya harus ditinjau dari moralitas Pancasila dan kebudayaan kepribadian nasional. Bangsa Indonesia tidak menghendaki akomodasi kebudayaan, sebab dalam akomodasi kebudayaan masih terdapat banyak pertentangan.

3.      Hakikat Sosial dari Pendidikan
Pendidikan mempunyai banyak definisi sepanjang waktu dan sepanjang banyak orang. Setiap definisi menunjukkan pandangan individu dalam lapangan pengetahuan masing-masing.
  1. Bagi ahli biologi: pendidikan adalah adaptasi
  2. Bagi ahli psikologi: pendidikan sinonim dengan belajar.
  3. Bagi ahli filsafat pendidikan lebih mencerminkan aliran-aliran yang dimilikinya, dan sebagainya.
Definisi-definisi tersebut berseling-seling, ada yang bersifat ekstrim ada pula ynag bersifat konservatif. Yang bersifat konservatif ialah memandang pendidikan sebagai suatu proses yang bersifat melindungi diri untuk menjaga status seseorang. Sedangkan yang bersifat progresif atau ekstrim adalah membantu individu dalam mengerjakan suatu hal yang lebih baik, dimana dia akan mengerjakan suatu cara.
Menurut Brown: Penididikan adalah proses pengendalian diri secara sadar dimana perubahan-perubahan dalam tingkah laku dihasilkan dalam diri orang itu melalui kelompok. Dari pandangan ini, pendidikan adalah suatu proses yang mulai pada waktu lahir dan berlangsung sepanjang hidup. Pengertian pengendalian secara sadar ini berarti adanya tingkat-tinkat keasadaran dari tujuan yang hendak di dapat.
Fungsi-fungsi daripada pendidikan
Menurut Payne fungsi pendidikan ada tiga macam:
a.       Assimilasi dari tradisi-tradisi. Disini mengakui bahwa assimilasi merupakan yang penting. Payne menggambarkan proses assimilasi dari tradisi sebagai imitasi dan tekanan sosial.
b.      Pengembangan dari pola-poola sosial yang baru. Kalau ada maasalah-masalah yang baru, maka perlu dipecahkan misalnya:
1)   Masalah perkembangan penduduk
2)   Masalah urbanisasi
3)   Masalah pekerjaan
c.       Kreatifitas/peranan yang bersifat membangun dalam pendidikan. Kreatif adalah kemampuan pikiran yang bersifat asli. Jadi ide-ide yang asli itu bersifat kreatif. Ada kenyataan kemudian timbul ide yang asli.
Menurut Brown ada tiga pelaku pendidikan:
1)   Lembaga-lembaga pendidikan formal, nisalnya: sekolah, lembaga keagamaan, museum, perpustakaan, rekreasi yang diorganisir, dan sebagainya.
2)   Kelompok-kelompok yang terorganisir yang mempunyai fungsi pendidikan yang penting.
3)   Organisasi-organisasi yang bersifat komersial dan industri. Misalnya: toko, industri.















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan:
1.      kebudayaan itu memiliki sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan merupakan totalitas, merupakan keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, kebiasaan dan lain-lain, kapabilitas dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diperoleh oleh manusia di dalam masyarakat. Pencipta kebudayaan adalah manusia, sedangkan fokus kebudayaan adalah masyarakat.
2.      budaya ideal ini adalah merupakan perwujudan dari kebudayaan yang bersifat abstrak. Sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit, dalam bentuk perilaku dan bahasa.
3.      Adanya perbedaan wujud kebudayaan antara satu budaya dengan budaya lain disebabkan karena dalam masyarakat terdiri atas berbagai unsur, baik yang besar maupun yang kecil yang membentuk satu kesatuan.
4.      Masyarakat sebagai wadah dan budaya sebagai isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua komponen yang bersatu. Setiap masyarakat memiliki budaya dan setiap budaya pasti ada masyarakat yang memilikinya.

B.  Saran:
Mengenai pembahasan Warisan Budaya ini tentunya banyak sekali pengetahuan peninggalan-peninggalan masalalu yang digali, disarankan bukan hanya kepada calon pendidik saja namun untuk semua masyarakat perlu mengetahui hal ini, supaya tidak melupakan kebudayaannya, dengan budaya kita ada, menghargai budaya merupakan pembelajaran yang berharga.

0 komentar:

Posting Komentar