Tradisi pengembangan pendidikan IPS di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi pengembangan social studies di
Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat merupakan salah satu
negara yang memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan kajian
sosial. Amerika Serikat merupakan negara yang sangat plural, terdiri dari
berbagai ras, bangsa, agama dan kebudayaan sehingga masyarakatnya bersifat
multikultural. Kondisi ini memiliki sejumlah persamaan dengan Indonesia dimana
masyarakat Indonesia juga merupakan masyarakat yang majemuk terdiri dari
berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan sebagainya. Di tengah kondisi masyarakat
yang plural atau majemuk inilah maka diperlukan adanya perhatian khusus dalam
pengembangan kajian sosial.
Faktor lainnya yang menjadikan Amerika
Serikat sering dijadikan rujukandalam pengembangan pendidikan IPS di Indonesia
adalah terletak pada reputasi akademik negara tersebut dalam pengembangan social
studies. Amerika Serikat memiliki sebuah lembaga yang memberikan perhatian
khusus pada pengembangan social studies. Secara berkala lembaga tersebut
“melahirkan” kajian-kajian akademiknya melalui sebuah jurnal yang
dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS). Definisi
social studies yang terdapat dalam NCSS tahun 1994 adalah sebagai
berikut : Social studies is the
integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology,
economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology,
religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics and natural sciences. The primary purpose of social studies is to
help young people develop the ability to make informed and reasoned decision
for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in
an interdependent world.
Terdapat perbedaan yang esensial antara
IPS sebagai ilmu-ilmu sosial(social sciences) dengan pendidikan IPS
sebagai sebagi social studies. Jika IPS lebih dipusatkan pada pengkajian
ilmu murni dari berbagai bidang yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial (social
sciences) atau dalam kata lain IPS adalah sebagai wujudnya. Setiap disiplin
ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu sosial berusaha untuk mengembangkan
kajiannya sesuai dengan alur keilmuannya dan menumbuhkan “body of knowledge”.
Sedangkan pendidikan IPS lebih ditekankan pada bagaimana cara mendidik tentang
ilmu-ilmu social atau lebih kepada penerapannya (application ofknowledge
social studies). Ilmu yang disajikan dalam pendidikan IPS merupakan suatu
Synthetic antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu pendidikan. Pendidikan IPS merupakan
hasil rekayasa “inter cross” dan “trans disipliner” antara disiplin
ilmupendidikan dengan disiplin ilmu sosial murni untuk tujuan pendidikan. Ilmu
yang dikembangkan dalam pendidikan IPS merupakan hasil seleksi, adaptasi dan modofikasi
dari hubungan inter disipliner antara disiplin ilmu pendidikan dan disiplin
ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis
untuk tujuan pendidikan.
Mengenai karakteristik pendidikan IPS
sebagai suatu synthetic disciplines
dijelaskan
oleh Somantri (2001; 198) sebagai berikut :
Disebut
synthetic disciplines karena
pendidikan IPS bukan hanya harus mampu mensintesiskan konsep-konsep yang
relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, melainkan juga tujuan
pendidikan dan pembangunan serta masalah-masalah sosial dalam hidup
bermasyarakat pun yang sering disebut dengan ipoleksosbudhankam akan menjadi pertimbangan
bahan pendidikan IPS.
Pendidikan IPS yang dikembangkan di
tingkat perguruan tinggi akan berbeda dengan pendidikan IPS yang dikembangkan
di tingkat persekolahan.Penyederhanaan pendidikan IPS harus diorganisir dan
disiapkan sedemikian rupa dan didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai.
Materi pendidikan IPS yang akan dipelajari siswa harus didasrkan pada tujuan
yang akan dicapai. Dalam hal ini, Somantri (2001; 44) merumuskan batasan dan
tujuan pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sebagai “suatu penyederhanaan
disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Tujuan pendidikan IPS dikembangkan atas
dasar pemikiran bahwapendidikan IPS merupakan suatu disiplin ilmu. Oleh karena
itu pendidikan IPS harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Dengan
demikian tujuan pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang
lebihtinggi.
Menurut Hasan (1996; 107), tujuan
pendidikan IPS dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu pengembangan
kemampuan intelektual siswa, pengembangan kemampuan dan rasa tanggung jawab
sebagai anggota masyarakat dan bangsa serta pengembangan diri siswa sebagai
pribadi. Tujuan pertama berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual
yang berhubungan dengan diri siswa dan kepentingan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu-ilmu sosial.Tujuan kedua berorientasi pada pengembangan diri siswa dan
kepentingan masyarakat. Sedangkan tujuan ketiga lebih berorientasi pada
pengembangan pribadi siswa baik untuk kepentingan dirinya, masyarakat maupun
ilmu. Berdasarkan pendapat di atas, ada tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan
pendidikan IPS, yaitu aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan
individual. Pengembangan kemampuan intelektual lebih didasarkan pada
pengembangan disiplin ilmu itu sendiri serta pengembangan akademik dan thinking
skills. Tujuan intelektual berupaya untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam memahami disiplin ilmu sosial, kemampuan berpikir, kemampuan prosesual
dalam mencari informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan. Pengembangan
intelektual ini akan selalu berhubungan dengan aspek pengembangan individual. Pengembangan
kehidupan sosial berkaitan dengan pengembangan kemampuan dan tanggung jawab
siswa sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu tujuan ini mengembangkan
kemampuan seperti berkomunikasi, rasa tanggung jawab sebagai warga negara dan
warga dunia, kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
dan bangsa. Termasuk dalam tujuan ini adalah pengembangan pemahaman dan sikap
positif siswa terhadap nilai, norma dan moral yang berlaku dalam masyarakat.
Karakteristik dari pendidikan IPS adalah
pada upayanya untuk mengembangkan kompetensi sebagai warga negara yang baik.
Warga negara yang baik berarti yang
dapat menjaga keharmonisan hubungan di antara masyarakat sehingga terjalin
persatuan dan keutuhan bangsa. Hal ini dapat dibangun apabila dalam diri setiap
orang terbentuk perasaan yang menghargai terhadap segala perbedaan, baik itu
perbedaan pendapat, etnik, agama, kelompok, budaya dan sebagainya. Bersikap
terbuka dan senantiasa memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang atau
kelompok untuk dapat mengembangkan dirinya.
Oleh karena itu pendidikan IPS memiliki
tanggung jawab untuk dapat melatih siswa dalam membangun sikap yang demikian. Selain
bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, pendidikan IPS juga mempunyai
tujuan yang lebih spesifik.
Tujuan ini dirumuskan oleh Pennsylvania
Council for the Social Studies (Clark, 1073; 8), yaitu :
Fokus utama dari program IPS adalah
membentuk individu-individu yangmemahami kehidupan sosialnya – dunia manusia,
aktivitas dan interaksinya yang ditujukan untuk menghasilkan anggota masyarakat
yang bebas, yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk melestarikan, melanjutkan
dan memperluas nilai-nilai dan ide-ide masyarakat bagi generasi masa depan. Untuk
melengkapi tujuan tersebut, program IPS harus memfokuskan pada pemberian
pengalaman yang akan membantu setiap individu siswa.
B.
Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Penetapan materi pendidikan IPS yang
akan diberikan kepada siswa disusundan direncanakan sedemikian rupa yang memperhatikan
teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik dan edukatif. Kesemuanya
itu tentu saja akan diarahkan pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
pendidikan IPS. Ketika dilakukan penyusunan kurikulum pendidikan IPS, langkah
awalnya didasarkan pada penetapan landasan filsafat apa yang akan digunakan.
Tentunya pengambilan landasan filsafat ini akan mengacu pada berbagai pemikiran
yaitu dari segi pengembangan keilmuan itu sendiri, pengembangan siswa sebagai pribadi
dan berbagai tuntutan serta kebutuhan dalam masyarakat. Perlu ditekankan bahwa
landasan filosofis yang akan kita ambil harus sesuai dengan corak budaya masyarakat
kita yang tidak menempatkan keilmuan di atas segala-galanya melainkan harus
diimbangi dengan kesadaran dan ketakwaan kepada sang pencipta. Sehingga
filsafat pendidikan IPS berada diantara adagium “intellectusquaerens fidem”
dan “fides quaerens intellectum”. Pendidikan IPS merupakan suatu
synthetic antara disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu sosial itu sendiri
maka di dalam pengembangannya tidak saja didasarkan pada pengembangan dari segi
keilmuan semata melainkan diarahkan untuk tujuan pendidikan. Teori dan konsep
yang digunakan mengacu kepada teori dan konsep yang memiliki relevansinya dengan
segi kependidikan. Pada tahap kemudian dari segi penyajiannya harus disesuaikan
dengan landasan edukatif pendidikan IPS. Artinya materi yang diberikan harus
dilakukan proses penyederhanaan terlebih dahulu yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan psikologis ataupun faktor tingkat kematangan siswa.
Penyederhanaan pendidikan IPS
diorganisir dan disiapkan sedemikian rupa dandidasarkan pada tujuan yang hendak
dicapai.Berdasarkan uraian tersebut di atas, memperlihatkan bahwa semua factor dan
unsur-unsur yang terkandung dalam pendidikan IPS semuanya bermuara kepada
tujuan. Penetapan landasan filosofis, akademik dan edukatif serta pengembangan
teori dan konsep akan tergantung dari tujuan yang telah ditetapkan. Dimana
tujuan dari pengembangan pendidikan IPS meliputi pengembangan intelektual,
kemampuan individual serta peranannya dalam masyarakat. Hal tersebut pada
akhirnya akan dibangun melalui suatu pondasi pendidikan IPS yang dirancang oleh
keterkaitan yang signifikan antara teori dan konsep serta landasan filosofis,
akademik, dan edukatif dengan tujuannya.
Pengembangan kurikulum pendidikan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari
landasan
filosofis yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut. Landasan filosofis
yang dimaksud adalah landasan filosofis kependidikan atau lebih khusus lagi
landasan filosofis kurikulum pendidikan ilmu-ilmu sosial (Hasan, 1996; 56). Dalam
tradisi pengembangan kurikulum pendidikan IPS di Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai aliran filsafat diantaranya esensialisme, eklektik, perenialisme, progressivisme
dan rekonstruksi sosial.
Aliran filsafat yang pertama adalah
esensialisme. Menurut aliran filsafat ini,kecemerlangan ilmu adalah sesuatu
yang harus menjadi kepedulian setiap generasi sebab hanya melalui penguasaan
ilmu, masyarakat akan berkembang. Berdasarkan filsafat ini maka pendidikan pada
dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Pengaruh pemikiran fiilsafat ini terhadap
pengembangan kurikulum pendidikan IPS adalah bahwa pendidikan IPS disajikan
secara terpisah sesuai dengan keilmuan itu sendiri. Menurut penganut aliran
esensialisme bahwa tujuan untuk mendidik menjadi warga negara yang baik akan
tercapai dengan sendiirinya apabila intelektualisme siswa dapat dikembangkan
dengan baik. Dalam hal ini, intelektualisme
yang dimaksud adalah kemampuan seseorang memecahkan berbagai persoalan yang ada
secara keilmuan (Hasan, 1996; 58). Filsafat esensialis memandang bahwa sasaran
utama sekolah adalah memperkenalkan siswa pada karakter dasar alam semesta yang
sudah mapan dengan cara mewariskan mereka budaya yang telah berkembang
sepanjang zaman. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan, esensialisme
dipandang sebagai salah satu filsafat yang menekankan pada penguasaan disiplin
ilmu secaramonodisipliner yang harus dikuasai oleh siswa melalui proses
kegiatan belajar mengajar di kelas (Miller & Seller, 1995). Dengan merujuk
pada filsafat ini, proses belajar mengajar di kelas ditekankan pada peran guru
yang dominan dan menempatkan siswa sebagai peserta yang menerima warisan nilai
yang ditransmisikan atau diekspositorikan oleh guru. Melalui peranan guru,
pandangan esensialis menempatkan academic excellence and cultivation of
intellect (Hasan, 2004) lebih penting daripada kemampuan untuk
mengembangkan proses inquiri guna memproduksi pengetahuan baru. Nampaknya,
filsafat kurikulum pendidikan ini tidak relevan dengan pendekatan pendidikan
IPS menurut pandangan baru yang menghendaki agar para peserta didik memiliki
peran aktif dalam proses inquiri di dalam dan luar kelas. Oleh karena
itu, orientasi filosofis kurikulum seperti itu harus segera diubah. Sebab
orientasi tersebut tidak bisa menjadi sarana untuk menyiapkan para peserta didik
membangun pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan guna menghadapi berbagai
tantangan masa depan.
Aliran filsafat selanjutnya adalah
aliran eklektik. Aliran filsafat eklektik merupakan perpaduan antara pandangan
esensialis dengan campur tangan kepentingan pendidikan. Pendidikan IPS dikembangkan
tidak secara tidak secara terpisah melainkan dikembangkan dalam bentuk pendekatan
korelasi dan terpadu. Pendekatan yang demikian memberikan kemungkinan yang
lebih luas bagi siswa untuk juga memperhatikan apa yang terjadi di masyarakat
sekitarnya tanpa kehilangan wawasan keilmuan (Hasan, 1996;60).
Aliran filsafat yang ketiga adalah perenialisme.
Aliran filsafat ini mengembangkan intelektualisme yang didasrkan pada study
yang dinamakan liberal arts. Artinya pengembangan intelektualisme didasarkan
dan ditujukan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa,
berbicara tentang keagungan dan kejayaaan bangsa. Filsafat perenialisme yang
dikembangkan oleh Brameld (dalam O’NMeil, 2001) memandang bahwa sasaran yang
harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang
kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Filsafat yang berakar pada pemikiran Plato, Aristoteles dan Thomas
Aquinas ini menghendaki adanya pewarisan nilai dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya melalui penyampaian berbagai informasi atau mentransmisikan
pengetahuan kepadapeserta didik (Hasan 1996). Berdasarkan pandangan filosofis
tersebut, kuriulum di Indonesia menjadi sangat ideologis untuk menjadikan
peserta didik sebagai warga negara yang memilii pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diinginkan oleh Negara. Tujuan pewarisan nilai, budaya serta untuk
memperkuat integrasi bangsa sangat menonjol dan hal itu sebagai ciri dari
kurikulum perenialis. Jadi, pandangan filsafat perenialis menekankan pada transfer
of culture (Schubert). Pembelajaran yang dianggap sebagai implementasi
kurikulum yangmelibatkan guru dan siswa dalam proses interaksi – menurut Saylor
dan Alexander (dalam Miller & Seller, 1995) – tidak dapat dilepaskan dalam
konteks social-budaya masyarakat terutama yang menyangkut masalah komunikasi
antara pihak-pihak terkait dalam proses pembelajaran. Dalam masyarakat
demokratis di negara-negara Anglo-saxon (Inggris, Amerika Serikat, Kanada,
Australia dan Selandia Baru), komunikasi antara guru dengan siswa dilakukan
melalui banyak arah secara egaliter serta menempatkan guru dan siswa
sebagai partner yang memiliki peran sama dalam mengembangkan serta
mengkonstruksi materi pembelajaran. Nilai-nilai equality, praternity, dan
liberty sebagai nilai yang diwariskan dari revolusi Perancis tahun 1789
telah mempengaruhi cara masyarakat tersebut berkomunikasi, termasuk dalam
komunikasi antara guru dengan siswa di kelas. Sebaliknya, dalam masyarakat
Indonesia yang agraris atau masyarakat transisi yang sedang berubah dari
masyarakat agraris ke industri serta dari masyarakat yang belum demokratis,
proses pembelajaran sebagai bagian dari implementasi kurikulum dilakukan
melalui komunikasi searah dari guru kepada siswa. Model komunikasi tersebut
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosial budaya patronase dan
feodalisme yang menempatkan orangtua (guru) lebih tinggi daripada anak (siswa);
guru selalu dianggap paling pintar, tidak pernah salah, dan oleh karena itu
mereka tidak bisa dibantah oleh anak (siswa). Dalam masyarakat Indonesia yang
agraris, model komunikasi patron and client relationship yang diwariskan
oleh tradisi kerajaan Mataram dulu (Moertono, 1968) telah diterima sebagai
model yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pembelajaran
di kelas. Dalam model ini, patron digambarkan sebagai sosok pemuka,
pemimpin dan penguasa yang harus dilayani serta memiliki pengaruh yang besar
atas sejumlah client yang tergantung kepadanya. Pandangan perenialis
dalam pengembangan kurikulum mendapat tempatyang tepat dalam budaya patronase
di Indonesia. Pandangan yang bersifat klasik dan menghendaki adanya pewarisan
nilai dari generasi terdahulu ke genarasi kemudian tersebut menempatkan siswa
dalam posisi yang pasif. Oleh karena itu mudah dipahami apabila para siswa
Indonesia yang selalu didorong untuk mengembangkan pembelajaran siswa aktif,
menjadi pembelajar yang mandiriserta memiliki kebebasan untuk memilih adalah
sangat sulit dilakukan.
Nampaknya, cara siswa Indonesia belajar
telah lama terkonstruksi melalui pandangan kurikulum yang diterapkannya serta
kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, budaya patronase
yang diadopsi dalam implementasi kurikulum kita tidak hanya berpengaruh
terhadap proses pembelajaran tersebut melainkan juga terhadap sikap dan
perilaku peserta didik setelah mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Sikap
selalu tergantung pada orang
lain
atau tidak mandiri anak-anak kita merupakan sebuah konsekuensi dari sistem
sosial-budaya
yang dianutnya. Dalam budaya patronase terdapat anggapan bahwa seorang anak
harus dididik sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tuanya. Anak
harus diubah tingkah lakunya sehingga menjadi seorang anak yang sesuai dengan kehendak
orang tua. Nampaknya pandangan ini mempengaruhi pengembang kurikulum kita untuk
menjadikan peserta didik memiliki pengetahuan atau keterampilan tertentu yang
sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Aliran filsafat yang keempat adalah
filsafat progressivisme. Menurut filsafatpendidikan progressivisme, tujuan
utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis dan membuat siswa
lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan dalam konteks
pengalaman siswa pada umumnya. Menurut pandangan ini, pengembangan pembelajaran
harus memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang
sosial budaya dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif sebagai
warganegara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki
kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Kinsler & Gamble,
2001).
Aliran filsafat yang terakhir yaitu
filsafat rekonstruksi sosial. Aliran filsafatini memandang pendidikan sebagai
wahana untuk mengembangkan kesejahteraan sosial. Filsafat pendidikan
rekonstruksionisme, seperti dikemukakan oleh O’Neil (2001), dapat dipilih
sebagai salah satu alternative dalam mengembangkan kurikulum pendidikan IPS
untuk masa depan. Orientasi rekonstruksionismeberpandangan bahwa sekolah harus
diarahkan kepada pencapaian tatanan demokratis yang menduinai. Secara
filosofis, seorang rekonstruksionis yakin bahwa teori pada puncaknya tidak
terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu.
Dengan demikian, pikiran adalah sebuah produk dari kehidupan di sebuah
masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Oleh karena itu, tanpa
mengabaikan nilai-nilai masa lalu, aliran ini menghendaki agar setiap individu
dan kelompok masyarakat mampu mengembangkan pengetahuan, teori atau pandangan
tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan
peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksi pengetahuan baru.
Dengan beberapa kelemahan yang tidak
bisa dihindari, kedua pandangan filsafat ini tidak hanya bertujuan untuk mengubah
kondisi masyarakat pada masa sekarang melainkan juga berorientasi untuk shaping
the future. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Hasan (2004) yang memilih
pengembangan kurikulum pendidikan IPS yang berorinetasi pada pengembangan
masyarakat ke arah masa depan. Hal ini terlihat dari pendapatnya berikut ini : […]
kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan, dimana kehidupan masa lalu, masa
sekarang dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan
dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Kurikulum adalah salah satu faktor dalam
proses pendidikan yang berperanseperti “perangkat lunak” dari proses tersebut.
Kurikulum mempunyai peranan sentral karena menjadi arah atau titik pusat dari
proses pendidikan. Peranan kurikulum sangat penting dan strategis dalam proses
pendidikan disamping peranan lain seperti guru, siswa dan sebagainya. Suatu
kurikulum mencerminkan baik secara eksplisit maupun tidak asumsi-asumsi yang
dianutnya mengenai tujuan dan hakikat pendidikan, tujuan dan hakikat kurikulum,
asumsi mengenai siswa, proses pendidikan dan pengajaran, visi penyusunan
kurikulum tentang harapan, tuntutan serta kebutuhan yang dihadapi dan akan
dihadapi oleh siswa saat ini dan masa yang akan datang. Kurikulum bukanlah
faktor yang terpisah dari dinamika tuntutan masyarakat. Muara dari kurikulum
adalah masyarakat pemakai jasa pendidikan.Kurikulum yang pada intinya merupakan
“formula” atau “resep” yang menjembatani atau mengantarkan siswa dari keadaan
kurang atau tidak berpengetahuan dan berketerampilan menjadi insan-insan yang
memiliki pengetahuan, terampil dan berguna serta dapat berkontribusi secara
positif terhadap perkembangan masyarakat. Dengan demikian, kurikulum seharusnya
mempunyai interaksi yang intens dengan karakteristik dan dinamika masyarakat. Kurikulum
pada dasarnya berorientasi kepada masa yang akan datang. Dengan demikian
penyusunan kurikulum hendaknya mampu mengantisipasi arah perkembangan ilmu
pengetahuan dan dampaknya. Penyusunan kurikulum harus memiliki kesempatan untuk
berperan dalam menentukan atau mempelopori arah, warna, jenis serta intensitas
perubahan di masyarakat. Untuk mempertahankan nilai relevansi yang tinggi
antara kurikulum dengan masayarakat, kurikulum perlu secara terus menerus
dimonitor dan dievaluasi. Sebagai satu faktor yang dinamik, kurikulum aktif
berintegrasi dengan masyarakat pemakainya dan perlu memanfaatkan perkembangan
dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, keilmuan, teknologi dan sebagainya.
Desain pembelajaran pendidikan IPS yang
baik tidak hanya menekankanpada aspek pengembangan intelektual saja tetapi juga
mencakup segi pengembangan afektif dan psikomotor siswa. NCSS (1994)
menyebutkan bahwa desain kurikulum pendidikan IPS yang baik akan dapat membantu
membangun siswa memiliki pandangan yang merupakan paduan dari personal,
akademik, pluralis dan global. Oleh karena itu ada empat perspektif yang
perludikembangkan. Pertama perspektif personal, yang akan membantu siswa untuk membangun
kemampuannya dalam menyelidiki setiap peristiwa, isu serta kejadian yang akan
berdampak pada diri, keluarga, bangsa serta masyarakat dunia. Siswa diharapkan
dapat memperhitungkan kerugian dan keuntungan serta mempertanggungjawabkan
setiap keputusan yang diambilnya. Kedua perspektif akademik, proses dan
pengalaman pembelajaran yang telah dimiliki siswa dapat diaplikasikan dalam
kehidupan siswa. Berbagai konsep yang telah dipelajarinya dapat memberikan
pemahaman dan pilihan pandangan tentang kehidupan sosial yang sesungguhnya
(nyata). Ketiga perspektif pluralis, siswa dapat menerima dan menghargai
kenyataan adanya perbedaan masyarakat dalam hal ras, agama,gender, kelompok dan
budaya secara keseluruhan Siswa dapat menerima dan menghargai kenyataan adanya
perbedaan masyarakat dalam hal ras, agama, gender, kelompok dan budaya secara
keseluruhan. Perbedaan ini diterima oleh siswa sebagai kekayaan sosial dan
unsur yang berkualitas di dalam lingkungan masyarakat demokratis. Perspektif
ini mengarah kepada pendidikan multikultural. Keempat perspektif global, siswa
memiliki kepedulian terhadap lingkungan dunia yang semakin berkurang kekayaan
alamnya serta memiliki komitmen dalam menghadapi masyarakat dunia yang majemuk.
C.
Disiplin-Disiplin Ilmu Sosial Dalam Pendidikan IPS
Pendidikan IPS yang dikembangkan pada
tingkat persekolahan akan sangatberbeda dengan pendidikan IPS yang dikembangkan
di tingkat perguruan tinggi. Pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat
persekolahan memiliki tujuan untuk membina peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang dikehendaki bangsa dan masyarakatnya. Tujuan ini menurut Hasan
(1996) dinamakan dengan tujuan kepribadian umum. Tujuan kepribadian umum ini
harus jelas terumus dan menjadi salah satu patokan dalam mengembangkan tujuan
pengajaran dan pemilihan materi pelajaran. Dalam hal pemilihan materi maka
pendidikan IPS dijenjang persekolahan melakukan pemilihan yang sangat
berorientasi kepada kepentingan pendidikan, bukan pada keilmuan semata.
Materi adalah apa yang dipelajari oleh
siswa berdasarkan tujuan yang akan
dicapai.
Pendidikan IPS merupakan sintetis antara disiplin ilmu pendidikan dengan
disiplin ilmu-ilmu sosial maka materi yang dipelajari siswa adalah materi yang
berkaitan dengan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu materi yang dikembangkan
dalam pendidikan IPS tidak dapat melepaskan diri dari materi yang
dikembangkan
dari luar disiplin ilmu sosial yaitu materi-materi yang digunakan untuk
mengembangkan sikap dalam proses belajar.
Pengembangan materi kurikulum pendidikan
IPS hendaknya memperhatikanscope dan sequence. Scope meliputi bidang ilmu kajian yang menjadi garapanpendidikan
IPS. Sedangkan sequence adalah taat
urutan antara suatu materi dengan materi lain atau dalam konteks kurikulum
berkenaan dengan tata urutan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran
lain. Sequence dapat dikelompokkan
atas dua pendekatan yaitu pendekatan logis dan pendekatan pedagogis. Pendekatan
logis didasarkan pada pemikiran logis suatu disiplin ilmu sedangkan pendekatan
pedagogis didasarkan pada pertimbangan siswa dan bukan tata urutan yang ada
dari disiplin ilu. Kriteria seperti kemudahan, familiarisasi dengan pokok
bahasan serta tingkat abstrak suatu materi pokok bahasan dijadikan
dasar
pertimbangan. Materi pendidikan IPS dikembangkan dari disiplin-disiplin ilmu
sosial yang kemudian disintesiskan dengan ilmu pendidikan dan disajikan dengan
didasarkan pada tujuan pendidikan tertentu.
Sampai saat ini, Indonesia mengalami
beberapa kali pergantian kurikulum.Setiap kurikulum memiliki karakterisitik
tersendiri termasuk dalam hal disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan
dalam pendidikan IPS. Dalam hal ini pembicaraan tentang kurikulum akan diawali
dari kurikulum tahun 1964 sampai pada kurikulum tahun 2006. Selain itu pembahasan
tentang kurikulum tersebut hanya mengkaji disiplin-disiplin ilmu sosial yang
dikembangkan dalam kurikulumtersebut.
Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan
dalam kurikulum tahun 1964 meliputi mata pelajaran Sejarah Indonesia, Geografi
Indonesia, Ekonomi dan pendidikan kewarganegaraan dalam mata pelajaran civics.
Mata pelajaran Sejarah Indonesia dan Geografi Indonesia dianggap sebagai mata
pelajaran yang memilikiperan penting dalam membina kualitas siswa yang diharapkan.
Suasana kehidupan politik pada saat itu
memerlukan adanya upaya pendidikan yang diarahkan untuk membentuk identitas
bangsa yang kuat. Pelajaran Sejarah akan mampu memberikan landasan yang kuat
karena ia akan mampu menggambarkan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat
dan akekuasaan yang ada di wilayah Nusantara. Sementara melalui Geografi
Indonesia, siswa diperkenalkan pada wilayah Republik Indonesia dengan berbagai
keragaman corak lingkungan fisik dan budayanya.Seiring dengan terjadinya perubahan
politik pada saat itu yaitu denganterjadinya pergantian pemerintahan dari
pemerintah Orde Lama kepada pemerintah Orde Baru maka berpengaruh pula pada
perubahan kurikulum. Kurikulum 1964 digantikan oleh kurikulum 1968. Dalam
kurikulum 1968, disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS
masih meliputi pendidikan Sejarah, geografi dan ekonmi. Perubahan yang paling
utama terlihat dari perubahan mata pelajaran civics menjadi kewarganegaraan.
Mata pelajaran ini kemudian berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dan
terakhir disebut dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pada kurikulum selanjutnya yaitu
kurikulum tahun 1975, disiplin ilmu sosialyang dikembangkan dalam pendidikan
IPS lebih beragam. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum 1975
meliputi geografi dan kependudukan, sejarah ekonomi-koperasi, antropologi
budaya serta tata buku dan hitung dagang. Perubahan yang signifikan terlihat dalam
disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum
tahun 1984. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum 1984
memasukkan disiplin ilmu sosiologi, antropologi, hukum, politik disamping
disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi. Selain itu dalam kurikulum tahun 1984
dimasukkan kajian-kajian kemasyarakatan yang diintegrasikan dalam pendidikan
IPS. Kajian tersebut adalah tentang lingkungan hidup dan keluarga berencana
yang dirumuskan dalam tujuan kurikuler mata pelajaran geografi, ekonomi, sosiologi,
antropologi dan tata negara.
Kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum
tahun 1994 tidak terjadi perubahan yang berarti dalam hal disiplin ilmu sosial
yang dikembangkan dalam pendidikan IPS. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan
dalam pendidikan IPS berdasarkan kurikulum 1994 masih meliputi sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan hukum. Perubahan hanya
terlihat dari pergantian label mata pelajaran geografi menjadi ilmu bumi serta
adanya pemisahan mata pelajaran sosiologi dan antropologi pada tingkat SMA yang
sebelumnya diberikan dalam satu mata pelajaran sosiologi-antropologi.
Demikian juga pada kurikulum tahun 2004,
disiplin ilmu sosial yang dikembangkan masih meliputi sejarah, geografi, ekonomi,
sosiologi, antropologi, politik dan hukum. Hanya saja pada kurikulum tahun
2004, mata pelajaran sejarah disatukan dengan pendidikan kewarganegaraan. Namun
pada kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum tahun 2006, sejarah dikembangkan
secara terpisah dengan pendidikan kewarganegaraan. Perubahan yang cukup
signifikan dalam pengembangan Pendidikan IPS melalui kurikulum tahun 2004 dan
2006 adalah dimasukkannya kajian tentang masyarakat multikultural, pendekatan
ilmuteknologi dan masyarakat serta pendekatan kemasyarakatan dalam menghadapi
persaingan di era globalisasi.
Memperhatikan disiplin-disiplin ilmu
sosial yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan IPS di Indonesia maka kita
dapat menyimpulkan bahwa tradisi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia
biasanya terdiri dari disiplin ilmu ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi,
politik, hukum dan pendidikan kewarganegaraan. Apabila kita bandingkan dengan
tradisi social studies di Amerika Serikat maka disiplin ilmu sosial yang
dikembangkan dalam socialstudies lebih beragam bila dibandingkan dengan
tradisi pendidikan IPS di Indonesia. Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan
dalam social studies di Amerika Serikat meliputi antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, religi
dan sosiologi. Selain itu bidang ilmu lain yang dianggap memiliki relevansi dan
dapat mendukung pengembangan social studies seperti ilmu kemasyarakatan,
matematika dan ilmu-ilmu kealaman menjadi bagian dari kajian social studies.
Meskipun demikian, disiplin ilmu sosial
yang dikembangkan dalam pendidikan IPS di Indonesia dianggap dapat mewakili
pencapaian tujuan yang diharapkan. Pengembangan pendidikan IPS yang ditujukan
sebagai pembentukan kewarganegaraan dapat dikembangkan melalui pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan serta sejarah. Pengembangan pendidikan IPS
sebagai ilmu sosial yang merujuk pada pengembangan segi keilmuan sosial itu
sendiri dapat diwakili oleh beberapa disiplin ilmu seperti geografi, ekonomi,
sejarah, sosiologi, dan antropologi.
Untuk Indonesia sendiri, tradisi pendidikan
IPS yang berlaku biasanya diberikan dalam bentuk inter dan mono disipliner.
Setiap tingkatan persekolahan diberikan pendidikan IPS dengan struktur pemberian
materi yang berbeda yang disesuaikan dengan tingkat usia siswa. Untuk tingkat
sekolah dasar diberikan materi pendidikan IPS yang dikemas secara terpadu
dengan mengambil tema-tema yang berkaitan dengan bidang sosial. Pada tingkat
SLTP, pendidikan IPS diberikan secara interdisipliner yang terdiri dari bidang
ilmu sejarah, geografi dan ekonomi.
Sedangkan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan
diberikan secara terpisah. Sementara itu untuk tingkat sekolah menengah atas,
pendidikan IPSdiberikan secara terpisah dalam arti dikembangkan secara
tersendiri menurut masing-masing disiplin ilmu.
Dilakukan organisasi materi dalam pengembangan
model dan prosedur pengembangan materi kurikulum pendidikan IPS. Organisasi
materi ini akan membahas mengenai bagaimana materi yang ada diatur sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam arti kata lain, organisasi materi berbicara
tentang bagaimana cara mengemas pendidikan IPS yang sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat perkembangan siswa.
Bentuk pendidikan IPS akan sangat
tergantung dari definisi atau pengertian yang dianut seseorang tentang pendidikan
IPS. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dalam bentuk penyajian pendidikan IPS.
Pendapat pertama mengemukakan bahwa materi dari disiplin-disiplin ilmu sosial
dijadikan sebagai salah satu sumber materi pokok bahasan kurikulum pendidikan. Sedangkan
pendapat kedua melihat pendidikan ilmu sosial merupakan pendidikan dari ilmu-ilmu
sosial dalam pengertian bahwa pendidikan IPS dikembangkan dari disiplin ilmu
sosial sebagai satu-satunya sumber materi pendidikan. Berdasarkan pendapat
kedua maka terdapat beberapa cara pengorganisasian materi disiplin-disiplin ilmu
sosial yang dikembangkan dalam pendidikan IPS, yaitu :
1. Organisasi
terpisah.
Merupakan
bentuk organisasi kurikulum yangmengajarkan setiap disiplin ilmu-ilmu sosial
secara terpisah berdasarkan ciridan karakteristik masing-masing disiplin ilmu.
2. Organisasi
korelatif/ berhubungan.
Merupakan
bentuk organisasi materi yangmencoba mencari keterkaitan pembahasan antara satu
pokok bahasan denganpokok bahasan lainnya tanpa menghilangkan ciri dari satu
disiplin ilmu sosialyang utama. Dengan keterkaitan, siswa belajar mengenai satu
pokok bahasandari disiplin lain.
3. Organisasi
fusi/ terpadu.
Merupakan
peleburan dari berbagai bidang ilmu-ilmusosial yang dikemas sedemikian rupa
berdasarkan pertimbangan pendidikandan kepentingan siswa.
Organisasi materi pendidikan IPS pada
tingkat sekolah dasar menggunakanpendekatan secara terpadu/ fusi. Materi pendidikan
IPS yang disajikan pada tingkat sekolah dasar tidak menunjukkan label dari
masing-masing disiplin ilmu sosial. Materi disajikan secara tematik dengan mengambil
tema-tema sosial yang terjadi di sekitar siswa. Demikian juga halnya tema-tema
sosial yang dikaji berangkat dari fenomena-fenomena serta aktivitas sosial yang
terjadi di sekitar siswa. Tema-tema ini kemudian semakin meluas pada lingkungan
yang semakin jauh dari lingkaran kehidupan siswa. Pendekatan seperti ini
dikenal dengan model pendekatan kemasyarakatan yang meluas (Expanding
community approach) yang pernah dikembangkan oleh Paul R. Hanna pada kurun
waktu tahun 1963-an.
Materi IPS dikembangkan dari
fenomena-fenomena sosialyang terjadi dekat dengan lingkungan siswa kemudian
meluas pada lingkungan sekolah, masyarakat sekitar tempat tinggal siswa,
lingkungan kota dimana siswa tinggal, propinsi, Negara dan kemudian ke wilayah
regional Negara tetangga bahkan sampai lingkungan dunia. Selain ruang lingkup
kajian yang semakin meluas, tema-tema yang disajikan berangkat dari hal-hal
yang sederhana menuju pada permasalahan sosial yang semakin kompleks.
D. FungsiPembelajaranIPS
Membekali anak didik dengan
pengetahuan sosial yang berguna, keterampilan sosial dan intelektual
dalam membina perhatian serta kepedulian sosial nya sebagai SDM yang
bertanggung jawab dalam merealisasikan tujuan nasional.
E. Konsep Pembelajaran IPS
Konsep dasar IPS yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dalam ilmu-ilmu Sosial sangat
dibutuhkan sebagai bahan pembelajaran pada tingkat persekolahan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan, maupun sebagai bahan pengembangan kemampuan
data nalar para mahasiswa di Penguruan Tinggi. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita mengenal dan mengembangkan
konsep-konsep dasar IPS yang dihasilkan atas pengembangan, pengujian, dan
penelaahan Ilmu-Ilmu Sosial.
Dorothy J.
Skeet (1979: 18) menyatakan bahwa konsep adalah sesuatu yang tergambar dalam
pikiran suatu pemikiran, gagasan atau suatu pengertian.
James G. Womack (1970: 30)
mengemukakan pengertian tentang konsep, terutama berkaitan dengan Studi Sosial
(IPS) sebagai berikut:
Konsep IPS yaitu suatu kala atau
ungkapan yang berhubungan dengan sesuatu yang menonjol, sifat yang melekat.
Pemahaman dan penggunaan konsep yang tepat bergantung pada. Penguasaan sifat
yang melekat tadi, dan pengertian umum kata yang bersangkutan. Konsep memiliki
pengertian denokatif dan juga pengertian konotatif.
Pengertian
denotatif adalah pengertian berdasarkan arti katanya yang dapat digali dalam
kamus, sedangkan pengertian konotatif adalah pengertian yang tingkatnya tinggi
dan luas.
Konsep-konsep dan fakta
menurut IPS yang penting untuk dapat dipahami dan dipecahkan berkaitan dengan
masalah-masalah sosial. Misalnya, di dalam geografi tentang perusakan
lingkungan, akhirnya terjadi gejala kerusakan alam yang tidak hanya kerusakan
geografi belaka, namun secara ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik, hukum
dan lainnya pun menjadi tidak seimbangatau berkaitan erat.
Bahwa bidang studi IPS,
pada hakikatnya merupakan perpaduan pengetahuan sosial seperti dikemukakan oleh
Nursid Sumaatmadja (1984) adalah untuk SD inti merupakan perpaduan antara
georafi dan sejarah.
Pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM), harus bersamaan dengan pengembangan nilai-nilai yang
dimaksud pembelajaran IPS, nilai-nilai tersebut dikelompokkan menjadi 5 yaitu
meliputi:
1.
NilaiEdukatif
2.
NilaiPraktis
3.
NilaiTeoretis
4.
Nilai Filsafah
5.
NilaiKetuhanan
F. Karakteristik
Konsep Dasar IPS
Tujuan utama setiap pembelajaran
Ilmu Sosial adalah membentuk warrga negara yang baik (Good Citizenship),
demikian pula IPS memiliki tujuan yang sama, namun dalam proses penyajiannya
IPS memiliki karakteristik tersendiri, dalam arti tidak sama dengan
karakteristik Ilmu-ilmu Sosial. Walaupun demikian, keberadaan Ilmu-ilmu Sosial
tidak dapat dipisahkan dari IPS karena konsep-konsep Ilmu Sosial merupakan sumber
utama bagi pengembangan materi pembelajaran IPS.
Ruang lingkup IPS tidak lain adalah
kehidupan sosial manusia di masyarakat. Masyarakat inilah yang menjadi sumber
utama IPS. Aspek kehidupan sosial apapun yang kita pelajari, apakah itu
hubungan sosial, Ekonomi, Budaya, Kejiwaan, Sejarah, Geografi, atau Politik
bersumber dari masyarakat. Oleh karena itu, tugas seorang pembelajar adalah
membelajarkan peserta didik dalam rangka meningkatkan kompetensi yang telah
para peserta didik miliki. Hal ini mengandung arti bahwa peserta didik telah
memiliki pengetahuan masing-masing sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya
selama mereka tinggal di masyarakat. Dalam upaya memanusiakan manusia (peserta
didik) proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat usia peserta didik
masing-masing.
Ada 3 aspek yang dikaji dalam proses
pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yaitu:
1.
Memberikan berbagai pengertian yang
mendasar (Kognitif)
2.
Melatih berbagai keterampilan
(Psikomotor)
3.
Mengembangkan sikap moral yang
dibutuhkan (Apektif)
Karakteristik IPS diantaranya :
1. Integrated
(terpadu)
2.
Interdisipliner (dapat dikaji dari
satu bidang ilmu pengetahuan)
3.
Multidisipliner (dapat dikaji dari
berbagai bidang keilmuan/rumpun pelajaran)
4.
Psiko pedagogis (kajian IPS harus
mempertimbangkan kemampuan berfikir siswa dengan memperhatikan Psikologi
perkembangan mereka.
5.
Cross disipliner (menyilangkan satu
mata pelajaran dengan mata pelajaran lain yang relevan)
6.
Social learning (dalam IPS harus ada
aspek ilmu yang bisa dipelajari)
7.
Social education (dalam IPS harus
ada ilmu yang bisa diambil)
8.
Synthetic discipline
9.
Scientific boundary line
10. Kajian
Sistematika.
Untuk
membahas karakteristik IPS, dapat dilihat dari berbagai pandangan. Berikut ini
dikemukakan karakteristik IPS dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.
1. Materi
IPS
Ada 5 macam
sumber materi IPS antara lain:
a.
Segala sesuatu atau apa saja yang
ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan
sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai permasalahannya.
b.
Kegiatan manusia misalnya: mata
pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi, transportasi.
c.
Lingkungan geografi dan budaya
meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari
lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d.
Kehidupan masa lampau, perkembangan
kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai
yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
e.
Anak sebagai sumber materi meliputi
berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan, keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran
IPS
Strategi
penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu
tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga,
masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti
ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum”
(Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa
Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah
matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai
berikut.
1. Anak
harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh
tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak
memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari
keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara
jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut
Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Anak
merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia
sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap
kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki
minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2. Anak
adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan
menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak
ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin
aktif, belajar, dan berbuat
4. Anak
mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang
seringkali kurang penting/bermakna
5. Anak kaya
akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman
seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami
orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan
hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan
dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1.
Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada
hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka
memuji diri sendiri
c. Apabila
tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka
membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka
meremehkan orang lain
2.
Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a.
Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin
tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul
minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak
memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di
sekolah.
Menurut Jean
Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh
karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan
siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa
belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik
bagi siswa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pendidikan
IPS merupakan hasil rekayasa “inter cross” dan “trans disipliner” antara
disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu sosial murni untuk tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang
lebih tinggi.
2. Pengembangan
kurikulum pendidikan IPS di Indonesia tidak terlepas dari landasan filosofis
yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut. Landasan filosofis yang
dimaksud adalah landasan filosofis kependidikan atau lebih khusus lagi landasan
filosofis kurikulum pendidikan ilmu-ilmu sosial (Hasan, 1996; 56).
3. Disiplin
ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum tahun 1964 meliputi mata
pelajaran Sejarah Indonesia, Geografi Indonesia, Ekonomi dan pendidikan
kewarganegaraan dalam mata pelajaran civics.
4. Membekali anak didik dengan
pengetahuan sosial yang berguna, keterampilan sosial dan intelektual
dalam membina perhatian serta kepedulian sosial nya sebagai SDM yang
bertanggung jawab dalam merealisasikan tujuan nasional.
5. Konsep dasar IPS yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dalam ilmu-ilmu Sosial sangat
dibutuhkan sebagai bahan pembelajaran pada tingkat persekolahan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan, maupun sebagai bahan pengembangan
kemampuan data nalar para mahasiswa di Penguruan Tinggi.
6.
Karakteristik IPS dapat dilihat dari
materi dan strategi penyampaiannya.
B.
Saran
Dalam
penyususan makalah ini tidaklah sempurna, tapi semoga isi dari makalah ini Karakteristik Pembelajaran IPS di Kelas
Tinggi dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang lebih luas bagi para
pembaca. Kami berharap khususnya untuk para Dosen dan Mahasiswa bisa
menggunakan makalah ini menjadi sebuah revisi dan bisa lebih mengembangkannya
mejadi lebih baik lagi.