A.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat menurut Melville J. Herskovits dan
bronislaw Malinowski dalam wikipedia mengemukaakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural deteminism.
Herkovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai super organik.
Menurut
selo soemardjan dan soelaiman soemardi dalam wikipedia kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.dari berbagai definisi tersebut, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda
yang bersifat nyata misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditunjukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan
banyak diartikan dari berbagai bahasa, diantaranya cultuur dari Bahasa Belanda, culture
dari Bahasa Inggris, dan dari Bahasa Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti culture sebagai
segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam (dalam
Ahmadi, 1991:58).
Dilihat dari
sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan
dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi, karena itu mereka
membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang
berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta,
karsa dan rasa tersebut. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari
beberapa ahli (dalam Effendi, 2007:92):
1. E.
B Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan
yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. R.
Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang
dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya
didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3. Koentjaraningrat,
mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri
manusia dengan belajar.
4. Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudyaan adalah semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dalam definisi yang
dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ini, dapatlah
disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan hasil dari usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani agar hasilnya dapar digunakan untuk
keperluan masyarakat, misalnya:
a. Karya
(kebudayaan material) yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda atau
lainnya yang berwujud benda
b. Rasa,
di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur
ekspresi jiwa manusia yang mewujudkan nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial
c. Cipta
merupakan kemampuan mental dan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan
5. Herkovis,
kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
Jadi,
kebudayaan itu memiliki sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan merupakan
totalitas, merupakan keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, kebiasaan dan lain-lain, kapabilitas dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diperoleh oleh manusia di dalam masyarakat.
Pencipta kebudayaan adalah manusia, sedangkan fokus kebudayaan adalah
masyarakat.
B.
Wujud Kebudayaan
Beberapa ilmuwan
seperti Talcott Parson (Sosiolog) dan Al Kroeber (Antropologi) dalam (Effendi,
2007:93) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam sebagai
suatu sistem. Dimana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian
tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J.J. Hogmann dalam
bukunya The World of Man (1955) dalam
(Effendi, 2007:93) membagi budaya dalam tiga wujud, yaitu ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli
tersebut, Koentjaraningrat (dalam Effendi) mengemukakan bahwa kebudayaan itu
dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, diantaranya:
1. Wujud
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan
peraturan.
Wujud tersebut
menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba,
dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat
dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut
pula tata kelakuan, hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi
mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini
dapat disebut adata atau adat istiadat, yang sekarang banyak disimpan dalam
arsip, komputer dan sebagainya.
Kesimpulannya, budaya ideal
ini adalah merupakan perwujudan dari kebudayaan yang bersifat abstrak.
2. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
Wujud tersebut
dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan
karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam
masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat
mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat.
Kesimpulannya, sistem
sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit, dalam bentuk
perilaku dan bahasa.
3. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud yang terakhir ini
disebut juga kebudayaan fisik. Dimana wujud budaya ini hampir seluruhnya
merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat). Sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil.
Kesimpulannya,
kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit,
dalam bentuk materi/artefak.
Berdasarkan penggolongan
wujud budaya tersebut, maka wujud kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi;
a. Budaya
yang bersifat abstrak
Sebagaimana telah
dijelaskan diatas, budaya yang bersifat abstrak ini letaknya ada di dalam
pikiran manusia, sehingga tidak dapat diraba atau difoto. Karena terwujud
sebagai ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan
cita-cita. Dengan demikian, budaya yang bersifat abstrak adalah wujud budaya
ideal dari budaya. Ideal disini berarti sesuatu yang seharusnya atau sesuatu
yang diinginkan manusia sebagai anggota masyarakat yang telah menjadi aturan
main bersama.
b. Budaya
yang bersifat konkrit
Wujud budaya yang
bersifat konkrit berpola dari tindakan atau perbuatan dan aktivitas manusia di
dalam masyarakat yang terlihat secara kasat mata.
Sebagaimana disebutkan
Koentjaraningrat (dalam Effendi, 2007) wujud budaya konkrit ini dengan sistem
sosial dan fisik yang terdiri dari perilaku, bahasa, dan materi.
1) Perilaku
Perilaku adalah cara
bertindak atau bertingkah laku tertentu dalam situasi tertentu. Setiap perilaku
manusia dalam masyarakat harus mengikuti pola-pola perilaku masyarakatnya.
Pola-pola perilaku adalah cara bertindak seluruh anggota suatu masyarakat yang
mempunyai norma-norma dan kebudayaan yang sama.
2) Bahasa
Bahasa berfungsi
sebagai alat berpikir dan alat berkomunikasi. Tanpa berpikir dan berkomunikasi
kebudayaan sulit ada. Melalui bahasa kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk,
dibina, dikembangkan, serta dapat diwariskan pada generasi mendatang. Bahasa
bermanfaat bagi manusia, bahasa dapat menjelaskan ketidakmengertian manusia
akan sesuatu hal. Dengan demikian, bahasa dapat menambah pengetahuan manusia,
memperluas cakrawala pemikiran, melanggengkan kebudayaan.
3) Materi
Budaya materi merupakan
hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Bentuk
materi ini berupa pakaian, alat-alat rumah tangga, alat produksi, alat
transportasi, alat komunikasi, dan sebagainya.
C.
Unsur-unsur Kebudayaan
Adanya perbedaan
wujud kebudayaan antara satu budaya
dengan budaya lain disebabkan karena dalam masyarakat terdiri atas berbagai
unsur, baik yang besar maupun yang kecil yang membentuk satu kesatuan. Ada
banyak pendapat tentang unsur-unsur yang membentuk suatu kebudayaan (Effendi,
2007:98), antara lain:
1. Melville
J. Herskovits, unsur-unsur kebudayaan terdiri atas sebagai berikut:
a. Alat-alat
teknologi
b. Sistem
ekonomi
c. Keluarga
d. Kekuasaan
politik
2. Bronislaw
Malinowski, menyebutkan unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut:
a. Sistem
norma-norma yang memungkinkan kerjasama antar anggota masyarakat agar menguasai
alam sekelilingnya
b. Organisasi
ekonomi
c. Alat-alat
dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan
d. Organisasi
kekuatan
3. C.
Kluckhohn, berpendapat bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang bersifat
universal (cultural universal),
artinya unsur ini dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa di dunia, yaitu:
a. Sistem
religi
b. Sistem
pengetahuan
c. Sistem
mata pencaharian hidup
d. Sistem
peralatan hidup atau teknologi
e. Organisasi
kemasyarakatan
f. Bahasa
g. Kesenian
Unsur-unsur atau
bagian-bagian kebudayaan menurut Linton (dalam Ahmadi, 1991:62), culture atau kebudayaan dibagi menjadi:
1) Cultural universal,
misalnya mata pencaharian, kesenian, agama, ilmu pengetahuan, kekerabatan dan
sebagainya.
2) Cultural activities,
kegiatan-kegiatan kebudayaan misalnya dari mata pencaharian tadi terdapat
pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, perdagangan dan sebagainya.
3) Tarits complexes,
bagian-bagian dari cultural activities
tadi. Misalnya dari pertanian terdapat irigasi, pengolahan sawah, masa panen
dan sebagainya.
4) Traits,
bagian-bagian dari traits complexes
tadi. Misalnya dari sistem pengolahan tanah terdapat bajak, guru, cangkul,
sabit dan sebagainya.
5) Items,
bagian-bagian di dalam traits
kebudayaan. Misalnya dari bajak masih terdapat bagian-bagiannya, yakni mata
bajak, tangkai bajak, pasangan, kendali dan sebgainya.
Gabungan
dari beberapa aktivitas budaya menghasilkan unsur-unsur budaya menyeluruh.
Terjadinya unsur budaya tersebut dapat melalui discovery, yaitu penemuan yang terjadi secara tidak sengaja atau
kebetulan yang sebelumnya tidak ada, invention,
yaitu penemuan atau usaha yang disengaja untuk memperoleh hal-hal baru.
D.
Manusia Makhluk Berkebudayaan
Masyarakat
sebagai wadah dan budaya sebagai isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan merupakan dua komponen yang bersatu. Setiap masyarakat memiliki
budaya dan setiap budaya pasti ada masyarakat yang memilikinya. Masing-masing
masyarakat seringkali memiliki budaya yang bersifat khas, yaitu hanya dimiliki
oleh masyarakat tersebut, misalnya dalam bidang seni, angklung dan seruling
sebagai ciri khas budaya sunda, dan sebagainya.
1. Pola
tingkah laku kelompok
Para ahli sosiologi
telah mempergunakan beberapa istilah untuk menggambarkan pola tingkah laku
kelompok, beberapa istilah itu diantaranya, folkways
atau kebiasaan harian (tingkah laku harian), mores dan institusi.
Istilah folkways atau kebiasaan harian itu
mencakup beberapa faktor sebagaimana halnya, cara memberi salam, dan sebaginya.
Mores adalah cara bertingkah laku dengan nada emosi yang dihubungkan dengan
sikap benar atau salah. Sedangkan institusi atau lembaga adalah pola tingkah
laku telah terikat oleh kebutuhan atau pertimbangan yang spesifik, misalnya
institusi keluarga, keluarga itu lebih atau bukan hanya seorang suami dengan
isterinya dan anak-anaknya yang tinggal serumah, tetapi juga mencakup seluruh
pola–pola tingkah laku kelompok, seperti persaingan, pertunangan dan
perkawinan, rasa tanggung jawab, kerjasama, status, persahabatan dan cinta
kasih.
Diantara folkways, mores dan institusi tidak terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam.
Batas-bata yang tajam terdapat pada masyarakat-masyarakat tertentu dan pada
zaman-zaman tertentu. Misalnya pola tingkah laku tari-tarian ada suatu
masyarakat yang menolak tarian, yang lain menganggap sebagai folkways, sebagai kebiasaan harian
menyenangkan, sedang yang lain lagi tarian dipakai dalam upacara-upacara tertentu,
bahkan pada bangsa Indian tarian termasuk upacara agama. Masyarakat Indonesia
menganggap bahwa tarian sebagai faktor perusak moral anak, sedang di Amerika
hal semacam itu lumrah saja di kalangan pemuda-pemudi dan orang dewasa serta
tua sekalipun.
Poligami misalnya,
untuk sautu masyarakat diizinkan (pada agama Islam) sedangkan pada masyarakat
yang lain merupakan larangan (pada agama Khatolik) dan masih banyak
contoh-contoh untuk menunjukkan batas-batas yang tak begitu tegas antara folkways, mores dan institusi.
2. Ciri-ciri
khas kebudayaan
Kebudayaan itu
mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Diantara berbagai ciri yang khas dari
kebudayaan ialah komulatif dan dinamis.
a. Kebudayaan
pada hakikatnya adalah komulatif,
merupakan tumpuk-tumpukan, lapisan-lapisan atau stratifikasi. Sifat komulatif
dari kebudayaan disebabkan adanya unsur-unsur lama dan baru dalam pertumbuhan
dan perkembangan kebudayaan dan hal ini jelas sekali pada historiografi
kebudayaan. Misalnya soal pakaian, dahulu kala orang-oranng memakai daun-daunan
untuk menutup tubuhnya, kemudian kulit kayu, kulit binatang, anyaman serta
serat, kemudian timbul kepandaian menenun dengan tangan, kemudian timbul mesin
tenun.
b. Hidup
kebudayaan laksana gelombang yang mempunyai saat-saat naik, saat-saat turun dan
saat-saat lenyap, demikian silih berganti secara kontinyu. Seperti halnya
manusia, kebudayaan pun mempunyai saat lahir, tumbuh berkembang, tua, akhirnya
bisa mati. Di dalam hidupnya, kebudayaan itu mengalami perubahan-perubahan,
maka tampaklah ada gerak dan pula pada kebudayaan, ada dinamika dari
kebudayaan, sehingga kebudayaan itu dinamis, maju, progressif, serta
usaha-usaha manusia di dalam perjuangan hidupnya selalu meningkat, selalu
bertambah maju.
Sebagian besar
secara objektif yang dapat cepat berubah
ialah kebudayaan yang berhubungan dengan
material, dan diantara kebudayaan material ini ada perubahan-perubahannya,
lambat, misalnya kerajinan tangan (manufacture) di dalam masyarakat, ini lambat
perubahan dan perkembangannya, sedangkan yang perubahannya serempak misalnya
sistem-sistem sosial atau timbul dan tenggelamnya feodalisme atau timbul dan
tenggelamnya kapitalisme industrial: Sirkulair daripada sistem. perubahan-perubahan yang kedua ialah yang berhubungan dengan kebudayaan
non material dan dari hal ini lambat (sedikit demi sedikit) ialah timbul dan
tenggelamnya sekte keagamaan atau bentuk manager kota daripada pemerintahan,
sedangkan yang perubahannya serempak misalnya perubahan-perubahan dalam
pola-pola yang lebih fundamental pada totalitarianisme atau hak keturunan.
Sedangkan komposisi kebudayaan dalam hal ini yang lambat perubahannya ialah
timbul dan jatuhnya dinasti-dinasti dan pada tingkat yang serempak ialah timbul
dan jatuhnya kebudayaan Yunani pada masa-masa awalnya.
Sehubungan
dengan perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat sirkulair ini maka Moh. Ali
mengemukakan teori siklus cakra manggilingan, bahwa kebudayaan itu tumbuh
menjadi besar dewasa berkembang-surut-mati, begitu gilir gumanti seterusnya.
Sedangkan menurut analisa historis dilakukan oleh Arnold J. Toynbee terhadap
kebudayaan di dunia ini menurut pola-pola perkembangan sebagai berikut, the
genesis the growth – thr break down – the desintegration. Jadi dari mulai masa
timbulnya atau kelahiran kebudayaan – kemudian kebudayaan itu tumbuh dan
berkembang kemudian mengalami masa menurun dan akhirnya hancur.
Sedangkan
menurut Herbert Spencer sebagai sosiologi yang dipengaruhi oleh teori-teori
biologi pada zamannya, percaya bahwa perubahan sosial adalah sinonim dengan
evolusi sosial, uniformitas, graduil dan progresif. Dari semua perubahan sosial
dan jalan atas prinsip tadi, dan prinsip perubahan sosial itu menunjukkan arah
pada perkembangannya, dari penyesuaian yang kurang memuaskan ke arah
penyesuaian yang lebih memuaskan, dari bentuk-bentuk yang lebih tinggi.
Konsep
evolusioner daripada perubahan-perubahan masyarakat ini kemudian diikuti oleh
sosiolog-sosiolog yang lain misalnya L.H Morgan, tetapi mendapat tantangan dari
Lester Ward ialah seorang penulis di Amerika pada masa itu. Ward menolak konsep
biologi daripada seleksi alam dan the Survival of th fittest bila diterapkan
pada survival daripada kebudayaan dan tidak menyetujui teori ketidaksanggupan
maju, dan mengajukan pendapat bahwa manusia dapat menentukan, mendeterminir
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dan manusia itu mengarahkan perubahan sosial
ke arah pencapaian tujuannya, dan bahwa pendidikan adalah media yang vital
untuk mencapai tujuan itu. Pendidikan memberikan alat-alat unutk mencapai
maksud manusia. Sekolah amatlah penting ditinjau dari perubahan yang bertujuan
dan mempunyai fungsi sosial yang lebih besar daripada peranannya mengajar
individu.
Di dalam
perubahan-perubahan sosial itu seringkali didapat apa yang dinamakan social lag
atau curtural yang merupakan suatu konsep kehidupan sosial yang fundamental.
Sosial lag
adalah suatu peristiwa-peristiwa dan proses perubahan sosial dimana terdapat
unsur-unsur kebudayaan yang jauh tertinggal perubahannya dibanding dengan
unsur-unsur yang lain. Dengan adanya social lag ini maka seringkali terjadi
perubahan-perubahan sosial yang tidak seimbang. Ataupun ada suatu aspek
kebudayaan yang tidak dapat atau amat sukar untuk ditembus oleh kebudayaan lain
misalnya hidup gotong royong pada rakyat Indonesia adalah digasak oleh
kebudayaan lain.
Untuk mengikuti
gejala social lag itu dapat diikuti misalnya pada analisa Ogburn yang antara
lain mengemukakan, bahwa dengan adanya perubahan-perubahan sosial akan
terjadilah pertumbuhan dan perkembangan daripada pola-pola tingkah laku sosial
dalam folkways, mores dan lembaga-lembaga serta pola-pola tingkah laku yang
lain. Dan hal ini merupakan kekuatan bagi pendidikan untuk membimbing,
menididik anak-anak dan pemuda dalam menghadapi kebudayaandunia secara
realistik dan mengarah pada perkembangan-perkembangan yang lebih tinggi
terhadap tujuan-tujuan manusia.
Seperti yang
telah dikemukakan bahwa dalam perubahan-perubahan sosial itu seringkali terjadi
social lag, maka terdapat faktor-faktor penghalang dalam perubahan sosial itu
atau disebut dengan faktor negatif diantaranya adalah overlapping daripada
generasi-generasi, cultural inertia, vested interests dan keisolasian.
Sepanjang abad
manusia seringkali mempunyai ide-ide yang utopis, misalnya manusia tidak boleh
benci, manusia tidak boleh menggunakan diskrimansi, dan sebagainya, tetapi
dalam kenyataannya hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi , tidak pernah
manusia mempunyai keturunan yang bebas dari rasa benci, rasa untuk
mendiskriminir sesuatu. Bayi, anak-anak dan pemuda-pemudi lahir dan dibesarkan
di dalam keluarga dan masyarakt, mendapat pengaruh-pengaruh dari orang-orang
dewasa, meraka belajar pada orang tuanya. Supervisi, sikap, pola tingkah laku,
standar norma, ditundakan, diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya tak
hentinya-hentinya, pewarisan kebudayaan itu turun temurun dari generasi ke
generasi tak ada putus-putusnya.
Berhubungan
dengan overlapping daripada generasi-generasi ialah apa yang dinamakan cultural
inerti-kepuasan terhadap sesuatu yang telah ada, dan takut kepada adanya
perubahan-perubahan. Penemuan-penemuan alat baru yang lebih menguntungkan
mereka tolak, berbahaya bagi rakyat.
Hal ketiga yang
menahan perubahan sosial adalah vested in terest, baik individual maupun
golongan. Sebab jika ada perubahan sosial membuat mereka takut kehilangan
pangkatnya, dan membuat mereka gengsi, dan sebagainya. Vested in terest itu
tidak hanya bersifat finansial tetapi juga bersifat pribadi, bersifat
sosiopsikologis, misalnya takut turun kewibawannya. Dalam lembaga-lembaga
pemerintahan dan industri banyak bersarang vested in terest ini dan menghalang
akan adanya perubahan sosial untuk kemajuan. Misalnya bangsa-bangsa di dunia
takut menerima dan memakai bahasa umum yang dipakai sebagai bahasa penghantar,
mereka takut jika bahasa bangsanya akan musnah.
Dengan adanya
interaksi baik langsung maupun tidak langsung antara kelompok yang satu dengan
yang lainnya maka akan terjadi pertukaran-pertukaran unsur kebudayaan satu sama
lain. Difusi dapat terjadi secara langsung, misalnya karena hasil kontak satu
kelompok dengan yang lain, dan dapat pula terjadi difusi tidak langsung
misalnya kontak dengan radio, buku-buku, film, dan bahkan adanya infiltrasi barang-barang dan
ideologi.
Difusi adalah
suatu peristiwa dengan prinsip adanya percampuran, adanya penerimaan unsur-unsur
kebudayaan dari kebudayaan lain. Proses percampuran kebudayaan itu selain
daripada difusi dikenal pula peristiwa assimilasi, akulturasi, dan akomodasi
kebudayaan.
Assimilasi
kebudayaan adalah persatupaduan antara dua unsur kebudayaan yang merupakan satu
campuran senyawa, menunjukkan satu gejala pola tingkah laku. Misalnya dengan
adanya assimilasi perkawinan di antara suku-suku warga negara bangsa Indonesia
akan menghasilkan generasi muda yang mempunyai pola tingkah laku assimilatif
antara warisan-warisan orangtua dan anak, terutama dengan pendidikan yang
seragam.
Akulturasi
adalah suatu proses percampuran kebudayaan asli dan asing. Pada umumnya
ahli-ahli ilmu kebudayaan dan sosiologi sependapat bahwa unsur-unsur kebudayaan
yang lebih tinggi akan diterima oleh kebudayaan yang lebih rendah. Dalam
menyelidiki hasil akulturasi kebudayaan terutama di dalam prosesnya, tidak
cukup hanya mempelajari salah satu
kebudayaan, tetapi semua kebudayaan yang mengadakan akulturasi harus kita
selidiki.
Demikian pula
jika kita hendak mendidikkan kebudayaan secara akulturatif kepada anak-anak.
Inilah prinsip pertama dari pada akulturasi kebudayaan, ialah menyelidiki dua
faktor atau lebih yang bersatu padu. Dalam mendidik anak dan cucu kita tidak
hanya mewariskan kebudayaan yang ada, tetapi dalam proses akulturasi pun
menuntut pengertian daripada pendidikan. Jadi tegasnya, kita pun mendidik
generasi muda untuk mengadakan akulturasi kebudayaan dengan sebaik-baiknya.
Dengan adanya akulturasi pendidikan tergeraklah orientasi pikiran penerima
kebudayaan asing.
Selanjutnya yang
menjadi prinsip dalam proses akulturasi
kebudayaan yang menerima melanjutkan corak dan tabiatnya yang asli dengan
dilengkapi oleh unsur kebudayaan asing dan digeneralisasikan dengan kebudayaan
asli. Misalnya dengan akulturasi bahasa, penerimaan istilah-istilah dari bahasa
asing dalam penggunaannya bagi bahasa Indonesia menurut aturan bahasa
Indonesia, dan sebagainya.
Dalam akulturasi
kebudayaan tidak semua unsur kebudayaan asing diterima, tetapi dilakukan
seleksi unsur-unsur mana yang pantas diterima dan ditolak, hal mana
diselaraskan dengan sikap jiwa dan mental bangsa yang bersangkutan. Bagi bangsa
Indonesia, semua penerimaan dan penolakan unsur-unsur kebudayaan asing tegasnya
harus ditinjau dari moralitas Pancasila dan kebudayaan kepribadian nasional.
Bangsa Indonesia tidak menghendaki akomodasi kebudayaan, sebab dalam akomodasi
kebudayaan masih terdapat banyak pertentangan.
3. Hakikat
Sosial dari Pendidikan
Pendidikan
mempunyai banyak definisi sepanjang waktu dan sepanjang banyak orang. Setiap
definisi menunjukkan pandangan individu dalam lapangan pengetahuan
masing-masing.
- Bagi ahli biologi: pendidikan adalah adaptasi
- Bagi ahli psikologi: pendidikan sinonim dengan belajar.
- Bagi ahli filsafat pendidikan lebih mencerminkan aliran-aliran yang dimilikinya, dan sebagainya.
Definisi-definisi
tersebut berseling-seling, ada yang bersifat ekstrim ada pula ynag bersifat
konservatif. Yang bersifat konservatif ialah memandang pendidikan sebagai suatu
proses yang bersifat melindungi diri untuk menjaga status seseorang. Sedangkan
yang bersifat progresif atau ekstrim adalah membantu individu dalam mengerjakan
suatu hal yang lebih baik, dimana dia akan mengerjakan suatu cara.
Menurut Brown:
Penididikan adalah proses pengendalian diri secara sadar dimana
perubahan-perubahan dalam tingkah laku dihasilkan dalam diri orang itu melalui
kelompok. Dari pandangan ini, pendidikan adalah suatu proses yang mulai pada
waktu lahir dan berlangsung sepanjang hidup. Pengertian pengendalian secara
sadar ini berarti adanya tingkat-tinkat keasadaran dari tujuan yang hendak di
dapat.
Fungsi-fungsi
daripada pendidikan
Menurut Payne
fungsi pendidikan ada tiga macam:
a. Assimilasi
dari tradisi-tradisi. Disini mengakui bahwa assimilasi merupakan yang penting.
Payne menggambarkan proses assimilasi dari tradisi sebagai imitasi dan tekanan
sosial.
b. Pengembangan
dari pola-poola sosial yang baru. Kalau ada maasalah-masalah yang baru, maka
perlu dipecahkan misalnya:
1) Masalah
perkembangan penduduk
2) Masalah
urbanisasi
3) Masalah
pekerjaan
c. Kreatifitas/peranan
yang bersifat membangun dalam pendidikan. Kreatif adalah kemampuan pikiran yang
bersifat asli. Jadi ide-ide yang asli itu bersifat kreatif. Ada kenyataan
kemudian timbul ide yang asli.
Menurut
Brown ada tiga pelaku pendidikan:
1) Lembaga-lembaga
pendidikan formal, nisalnya: sekolah, lembaga keagamaan, museum, perpustakaan,
rekreasi yang diorganisir, dan sebagainya.
2) Kelompok-kelompok
yang terorganisir yang mempunyai fungsi pendidikan yang penting.
3) Organisasi-organisasi
yang bersifat komersial dan industri. Misalnya: toko, industri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan:
1. kebudayaan
itu memiliki sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan merupakan totalitas,
merupakan keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, kebiasaan dan lain-lain, kapabilitas dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang diperoleh oleh manusia di dalam masyarakat. Pencipta kebudayaan adalah
manusia, sedangkan fokus kebudayaan adalah masyarakat.
2. budaya
ideal ini adalah merupakan perwujudan dari kebudayaan yang bersifat abstrak.
Sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkrit, dalam
bentuk perilaku dan bahasa.
3. Adanya
perbedaan wujud kebudayaan antara satu budaya dengan budaya lain disebabkan karena
dalam masyarakat terdiri atas berbagai unsur, baik yang besar maupun yang kecil
yang membentuk satu kesatuan.
4. Masyarakat
sebagai wadah dan budaya sebagai isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan merupakan dua komponen yang bersatu. Setiap masyarakat memiliki
budaya dan setiap budaya pasti ada masyarakat yang memilikinya.
B.
Saran:
Mengenai
pembahasan Warisan Budaya ini tentunya banyak sekali pengetahuan
peninggalan-peninggalan masalalu yang digali, disarankan bukan hanya kepada
calon pendidik saja namun untuk semua masyarakat perlu mengetahui hal ini,
supaya tidak melupakan kebudayaannya, dengan budaya kita ada, menghargai budaya
merupakan pembelajaran yang berharga.
0 komentar:
Posting Komentar